Anda ingin mengetahui sejuta khazanah kebesaran sejarah Melayu, tidak salah jika menginjakkan kaki ke Pulau Penyengat, sebuah hamparan daratan eksotis yang menyimpan aneka situs dan taman perhelatan bagi penulis Melayu di era kejayaan Kerajaan Riau Lingga.
Pulau Penyengat berada tepat di gerbang Pulau Bintan, sekitar 15 menit penyeberangan dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang. Dengan menggunakan kapal pompong, pengunjung akan dapat tiba di pulau yang seluas 240 hektare itu. Setiap perahu pompong hanya bisa membawa sebanyak 10 pengunjung.
Dari kejauhan sudah tampak kemegahan Masjid Raya Penyengat yang dibangun sekitar tahun 1832. Warna kuning yang menjadi warna dominan masjid bernilai sejarah tersebut telah terlihat beberapa meter sebelum perahu pompong merapat di dermaga sederhana persis di mulut pintu masuk Pulau Penyengat.
Masjid Raya Penyengat berarsitektur rancangan konstruksi Turki dan Eropa ini tetap terjaga kelestariannya hingga kini, meski telah beberapa kali dipugar. Masjid bersejarah ini tetap berdiri kokoh dan menjadi situs kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau, kendati beton-betonnya hanya direkat dengan bahan kuning telur.
Masjid yang panjangnya 19,8 meter dengan lebar 18 meter di dalamnya ditopang empat tiang beton. Pada tiap penjuru dibangun menara tempat bilal menyeru azan. Selain menara terdapat pula 13 kubah. Ada yang empat persegi. Seluruhnya berjumlah 17 menara dan kubah. Itu menggambarkan 17 rakaat salat bagi umat Islam.
Menurut Abdurrahman, penjaga masjid tua itu yang juga salah satu keturunan Kesultanan Melayu Riau Lingga, selain Masjid Raya Penyengat, di Pulau Penyengat ini juga dapat dilihat sejumlah peninggalan sejarah lainnya di antaranya Benteng Bukit Kursi, Balai Adat, Makam Raja Abdul Rahman, Gedung Tengku Bilik, Gedung Mesiu, Istana Kantor, Makam Raja Jaafar, Sumur Puteri, bekas Gedung Tabib, bekas Percetakan Rusdiyah, bekas rumah hakim, Makam Tengku Haliman, Makam Raja Haji Fisabilillah serta Benteng Bukit Punggawa.
“Salah satu keistimewaan Pulau Penyengat ini dibanding pulau lainnya di kawasan ini adalah air tawar yang selalu tersedia di sini. Kita menggali dua meter saja langsung mengucur air tawar. Di tempat lain gali dua meter yang muncul air asin atau payau,” ungkapnya.
Bak Anak Tiri
Karena keistimewaan itulah maka di masa lampau, banyak pelaut yang singgah di Pulau Penyengat untuk mengambil air tawar.
Terkait dengan air tawar inilah lahir nama “Penyengat” bagi pulau yang kini dihuni sedikitnya 2.000-an jiwa itu.
Nama “Penyengat” itu diberikan kepada pulau yang tanahnya berbukit-bukit terdiri dari pasir bercampur kerikil, pantainya umumnya landai dan sebagian berumput dan berbatu karang itu, karena dalam sebuah kejadian pelaut-pelaut yang sedang mengambil air tawar di tempat itu tiba-tiba diserang oleh semacam lebah (insect) yang dipanggil penyengat.
Banyak pelaut yang menjadi korban akibat peristiwa itu. Sejak itulah pulau itu di kalangan pelaut dan nelayan dipanggil dengan nama Pulau Penyengat.
Sayangnya, keberadaan Pulau Penyengat seperti anak tiri yang dibiarkan begitu saja. Padahal, sejarah kebudayaan Melayu kuno terdapat di sana. Karena itu, tidak keliru jika Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah pernah berjanji menghidupkan kembali Pulau Penyengat sebagai salah satu tujuan wisata religius di Kepulauan Riau. Lebih dari itu, Pulau Penyengat akan dijadikan gerbang awal untuk mengembangkan kebudayaan di provinsi kepulauan itu.
Pulau Penyengat memang harus dimasyarakatkan agar kebudayaan Melayu Kuno tetap terjaga dan lebih dari itu menjadi wisata unggulan terutama untuk menarik wisatawan dari mancanegara, terutama Malaysia dan Singapura yang serumpun itu.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id
Pulau Penyengat berada tepat di gerbang Pulau Bintan, sekitar 15 menit penyeberangan dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Pinang. Dengan menggunakan kapal pompong, pengunjung akan dapat tiba di pulau yang seluas 240 hektare itu. Setiap perahu pompong hanya bisa membawa sebanyak 10 pengunjung.
Dari kejauhan sudah tampak kemegahan Masjid Raya Penyengat yang dibangun sekitar tahun 1832. Warna kuning yang menjadi warna dominan masjid bernilai sejarah tersebut telah terlihat beberapa meter sebelum perahu pompong merapat di dermaga sederhana persis di mulut pintu masuk Pulau Penyengat.
Masjid Raya Penyengat berarsitektur rancangan konstruksi Turki dan Eropa ini tetap terjaga kelestariannya hingga kini, meski telah beberapa kali dipugar. Masjid bersejarah ini tetap berdiri kokoh dan menjadi situs kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau, kendati beton-betonnya hanya direkat dengan bahan kuning telur.
Masjid yang panjangnya 19,8 meter dengan lebar 18 meter di dalamnya ditopang empat tiang beton. Pada tiap penjuru dibangun menara tempat bilal menyeru azan. Selain menara terdapat pula 13 kubah. Ada yang empat persegi. Seluruhnya berjumlah 17 menara dan kubah. Itu menggambarkan 17 rakaat salat bagi umat Islam.
Menurut Abdurrahman, penjaga masjid tua itu yang juga salah satu keturunan Kesultanan Melayu Riau Lingga, selain Masjid Raya Penyengat, di Pulau Penyengat ini juga dapat dilihat sejumlah peninggalan sejarah lainnya di antaranya Benteng Bukit Kursi, Balai Adat, Makam Raja Abdul Rahman, Gedung Tengku Bilik, Gedung Mesiu, Istana Kantor, Makam Raja Jaafar, Sumur Puteri, bekas Gedung Tabib, bekas Percetakan Rusdiyah, bekas rumah hakim, Makam Tengku Haliman, Makam Raja Haji Fisabilillah serta Benteng Bukit Punggawa.
“Salah satu keistimewaan Pulau Penyengat ini dibanding pulau lainnya di kawasan ini adalah air tawar yang selalu tersedia di sini. Kita menggali dua meter saja langsung mengucur air tawar. Di tempat lain gali dua meter yang muncul air asin atau payau,” ungkapnya.
Bak Anak Tiri
Karena keistimewaan itulah maka di masa lampau, banyak pelaut yang singgah di Pulau Penyengat untuk mengambil air tawar.
Terkait dengan air tawar inilah lahir nama “Penyengat” bagi pulau yang kini dihuni sedikitnya 2.000-an jiwa itu.
Nama “Penyengat” itu diberikan kepada pulau yang tanahnya berbukit-bukit terdiri dari pasir bercampur kerikil, pantainya umumnya landai dan sebagian berumput dan berbatu karang itu, karena dalam sebuah kejadian pelaut-pelaut yang sedang mengambil air tawar di tempat itu tiba-tiba diserang oleh semacam lebah (insect) yang dipanggil penyengat.
Banyak pelaut yang menjadi korban akibat peristiwa itu. Sejak itulah pulau itu di kalangan pelaut dan nelayan dipanggil dengan nama Pulau Penyengat.
Sayangnya, keberadaan Pulau Penyengat seperti anak tiri yang dibiarkan begitu saja. Padahal, sejarah kebudayaan Melayu kuno terdapat di sana. Karena itu, tidak keliru jika Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah pernah berjanji menghidupkan kembali Pulau Penyengat sebagai salah satu tujuan wisata religius di Kepulauan Riau. Lebih dari itu, Pulau Penyengat akan dijadikan gerbang awal untuk mengembangkan kebudayaan di provinsi kepulauan itu.
Pulau Penyengat memang harus dimasyarakatkan agar kebudayaan Melayu Kuno tetap terjaga dan lebih dari itu menjadi wisata unggulan terutama untuk menarik wisatawan dari mancanegara, terutama Malaysia dan Singapura yang serumpun itu.
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id
0 komentar:
Posting Komentar