Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Wisata sekaligus Mempertahankan Kelestarian Penyu




Teluk Hijau di Meru Betiri dengan pondokan sederhana untuk wisatawan (atas).

BANYUWANGI – USAI beduk maghrib, tepatnya pukul 18.32 petang, langkah Wartono tampak menyusuri jalan setapak yang membelah hutan lindung Pantai Sukamade. Kedua tangan pria asal Sumedang yang telah 12 tahun mengabdikan diri sebagai petugas Jaga Wana Taman Nasional Meru Betiri itu tampak menenteng lampu baterai dan ember plastik.

Sebelum meneruskan langkahnya, Wartono mampir ke kamar tiga rekannya yang mondok di cottage sebelah Kantor Taman Penyu Sukamade. Berempat mereka menyusuri kegelapan malam, membelah hutan lindung menuju bibir Pantai Sukamade. Tidak sampai 40 menit, kaki keempat pria itu menjejak pasir pantai Sukamade di tepian Samudera Indonesia.
Mereka lantas mematikan lampu baterai. Nyala bara api di puntung rokok keempat pria itu pun dimatikan. Yang tersisa, hanyalah kerlipan cahaya bintang.
Dalam penerangan alam, keempat pria itu berpencar. Mereka menyusuri bibir pantai, menjejak tapak kaki penyu. Sejurus kemudian, terdengar siulan panjang dari arah tenggara. Di situlah, Wartono memberi semacam isyarat morse kepada kawannya, Wartono, telah menemukan jejak langkah sang penyu.
Berempat mereka menyusuri tepian langkah penyu. Begitu, terlihat punggung penyu, Wartono mengajak kawannya menunggu sampai sang penyu selesai membuat lubang telur. Tanpa bicara, Wartono menghabiskan waktu 70 menit hanya untuk menunggui sang penyu menyelesaikan mengeruk lubang telur.
Di saat menunggu itulah, Wartono menyempatkan memberi isyarat kepada kawannya yang berada di Penginapan Kebun Ledokombo untuk segera merapat ke pantai. Saat bersamaan, kawannya itu sedang menjamu dua pasang wisatawan asal Denmark. Tampak pula bergabung, sebelas orang wisatawan lokal.
Mendapat isyarat Wartono, rombongan wisatawan itu bergegas menuju dua unit jeep Rocky milik Taman Nasional Meru Betiri. Meski hanya berjarak 6 km dari Penginapan Kebun Ledokombo, tapi perjalanan mobil menuju pintu gerbang Pantai Sukamade butuh waktu 40 menit. Maklum, jalan menuju ke kawasan pantai Sukamade rusak berlubang. Lubang itu menjebak dan memperlambat perjalanan. ”Kondisi jalan yang rusak dengan lubang menganga ini, sengaja kami pertahankan. Jika diperbaiki, akan mengundang kawanan pencuri telur penyu,” kata Ismanto, yang bertugas mengawal wisatawan.
Sesampainya, di pantai Sukamade, Ismanto memberi isyarat kepada Wartono. Dan, serombongan wisatawan itu, hanya diizinkan bergerombol 100 meter dari arah sang penyu yang hendak bertelur. Begitu melihat sang penyu terdiam tak mengipaskan keempat kakinya, Wartono pun mengangkat langkahnya ke arah binatang berpunggung keras itu. ”Sekarang, boleh menyalakan lampu baterai,” katanya, memberi isyarat pada serombongan wisatawan untuk mendekat ke tempat ”petarangan” sang penyu.

Takut Cahaya
”Dalam bulan Juni, tak banyak penyu bertelur. Lain lagi, pada bulan Agustus dan November. Saban malam, dua sampai empat ekor penyu bertelur bersamaan,” jelas Wartono kepada para wisatawan. Ada yang aneh di saat penyu bertelur. Hewan yang hidup di dua alam itu, tampak tenang tak terganggu dengan cahaya lampu baterai. Bahkan, tak silau oleh nyala lampu blitz kamera. Namun, cahaya sekecil apapun akan membuat penyu kembali ke tengah laut dan mengurungkan bertelur, jika ada cahaya lampu saat dia sedang berjalan ke darat untuk membuat lubang telur.
Melihat penyu bertelur, kelompok wisatawan tampak berebut mengabadikan lewat kamera fotonya maupun handycam. Mereka saling bergantian menyentuh punggung keras sang penyu. Inilah atraksi kasih sayang antara manusia dengan sang penyu.
Begitu selesai bertelur, sang penyu kembali beraktivitas. Keempat kakinya, bergantian mengipas pasir ke arah lubang ”petarangan” telurnya. Menutup lubang sedalam 60 cm, memang memakan waktu. Penyu yang usianya sekitar 25 tahun itu, perlu waktu 35 menit untuk menutup lubang telur.
Setelah itu, sang hewan langka itu pun mengayunkan langkahnya ke arah laut lepas. ”Kami yang bertugas di sini, wajib mengawal penyu hingga ke bibir laut. Jika tidak, terkadang penyu terjebak potongan kayu atau tergelincir hingga terbalik. Kecelakaan itu, bisa menewaskan penyu,” ujar Wartono.
Setelah yakin berenang ke laut, Wartono pun kembali ke arah kawan-kawannya yang sedang menggali lubang telur. Lubang yang sebelumnya ditandai tonggak bambu itupun, digali perlahan.
Wartono pun memimpin menghitung telur. Sekali bertelur, penyu mampu bertelur 140 hingga 200 butir. Tengah malam itu pula, telur penyu itu dibawa Wartono ke bangunan semacam bunker. Di dalamnya, tampak terlihat 112 ember plastik penuh telur penyu. Tampak pula lima ember besar berisi air laut, yang di dalamnya terdapat tukik (anak penyu) usia sepekan.
”Jika ada wisatawan, kami akan melepas tukik ke tengah laut. Tak jarang, wisatawan ikut mengangkat ember dan melepas tukik ke pasir pantai,” tutur Wartono. Dan, pelepasan tukik itu merupakan sebuah atraksi lain yang cukup memikat para wisatawan.
Sumber: Harian Sinar Harapan

0 komentar:

Posting Komentar