Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Dalam Hujan Hijau Friedenau

Cerpen Triyanto Triwikromo Silakan Simak!
Dimuat di Kompas Silakan Kunjungi Situsnya! 07/13/2008

Kereta yang sesaat berhenti di Stasiun Friedenau itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahanmu dengan Ellen Adele, Arok. Dari Apartemen Carstennstr 25 B—tempat kita (sepasang iblis manis pemuja Mozart), menggambar percintaan ribuan kelelawar di kanvas bekas dan menciptakan komposisi kebrengsekan Berlin di gamelan sengau dan piano busuk—aku memang merayu para malaikat itu agar mau mengunjungi makamku di Waldfriedhof Zehlendorf. Tentu aku tak bisa lagi melihat tubuhku yang hingga Agustus yang biru masih disorot kamera dan asyik masyuk dalam pemotretan untuk reklame sabun bagi para perempuan uzur itu. Tentu di bawah langit Berlin yang senantiasa menyerupai bentangan kain tetoron abu-abu aku hanya mendapatkan guci abuku dililit akar dan digerogoti para cacing. Dan setelah kremasi yang indah pada Rabu tersaput salju di kuburku, aku memang tak bisa lagi merasakan teduh cemara zedar perkasa yang kini mungkin dilupakan oleh siapa pun yang berjalan tergesa-gesa mengejar kereta. Namun, sebelum menghadiri pesta pernikahanmu, aku memang perlu merasakan sihir cinta yang pernah kausepuhkan di pohon-pohon dan dedaunan penuh embun itu.

Arok, Arok, mein Herz, hingga kini aku tak pernah menyesal mencintaimu. Dan aku kian tahu betapa kematian tak menghapus partitur asmara karena kau tak pernah menganggap aku mati justru saat itu sebentar lagi tubuhku meleleh dilahap api pembakaran. Dan aku paham, ketika memberiku musik menggairahkan pada upacara duka, sesungguhnya kau hendak mengatakan, tak perlu siapa pun takut pada taring maut jika mereka tak pernah menganggap kehidupan sebagai berlian yang harus disimpan di almari besi tanpa kunci dan gembok sembarangan.

Ya, saat kau memutar ”La Cathédrale Engloutie” Debussy yang khidmat, agung, dan gaib, aku memang terkenang perkenalan pertama kita. Perkenalan sepasang manusia yang sama- sama diasingkan oleh manusia lain. Kau disingkirkan oleh para serdadu Alas yang tak suka pada komposisi ”Genjer-genjer” yang telah kau dekonstruksi dalam nada-nada gamelan magismu, sedangkan aku harus menyingkir dari ancaman mata bengis tentara yang menganggap para perempuan keturunan Yahudi sepertiku hanya sebagai anjing kudisan yang setiap saat harus menyerahkan batang leher untuk digantung atau diberondong tembakan. Ah, apakah kau mengerti saat itu aku ingin sekali mengajakmu menari serampangan untuk melawan pesona musik yang melenakan itu?

Sudah kuduga kau juga akan ingat Chopin. Kau pasti memilih ”Mazurka a-moll, opus 68 nr 2” untuk mengenang masa remajaku sebagai binatang buangan yang bertahun-tahun hidup ilegal di Kota Danzig, ketika aku menyembuyikan diri dari buronan Nazi sekitar 68 tahun silam. Untuk apa kau kenang rasa sakitku itu, Arok? Apakah kau ingin menjadi trubador sinting yang setiap hari mewartakan ketakjuban manusia pada derita orang-orang yang terusir dari kesunyian tanah yang dipuja sepanjang hayat?

Tapi terus terang aku terkejut saat kau memutar ”Der Mond im Wassertropfen”2, komposisi ngelangut yang menjeratku. Aku jadi geli sendiri saat kau menghadirkan suaraku yang agak retak melantunkan bait-bait sajak yang kita buat bersama itu. Apakah cinta memang bisa membuat siapa pun jadi sepasang angsa hitam yang cerewet melengkingkan nada-nada kacau di biru kolam, Arok? Tak perlu kau jawab pertanyaan itu. Aku toh tak akan pernah mendengarkan apa pun ketika sedang menikmati ”La mi darem la mano” dari opera Mozart, ”Don Giovanni”. Dan karena kau mempersembahkan aria favoritku itu dalam kesedihan yang agung, itu berarti pada saat yang sama kau ingin meniadakan dirimu. Kau ingin menghilang dari kesunyian pekuburan. Kau ingin moksa bersamaku dalam saputan salju biru, dalam saputan keheningan yang berseteru dengan waktu.

Mengenang segala yang kini sering tampak mengabur di langit yang membentang di atas Kanal Landwehr itu, aku jadi malu mengapa pada suatu senja yang pucat aku bilang kepadamu, ”Arok, mein Schatz3, janganlah kamu bicara tentang hari depan. Apakah kamu tak melihat gelagat ini bahwa waktu hidupku bersamamu sudah menjelang habis?”

Ya, kau juga tidak menduga pada malam karut-marut seusai mendengarkan Bach, aku mengajakmu membicarakan perihal teknik bunuh diri yang paling indah. Dengan tenang aku bilang bunuh diri ala Eva Braun, istri Hitler, bukanlah strategi mati yang lebih indah daripada cara bunuh diri para perempuan Jepang, jigai. Ya, sangatlah menggetarkan menusukkan jarum rambut atau pisau ke ulu hati, sebagaimana Yukio Mishima melakukan hara-kiri atau seppuku dengan menusukkan wakizashi, pisau kecil yang tajam, itu ke perut.

Setelah menulis jisei no ku atau puisi kematian, dengan mudah, mungkin aku bisa menyobek perut sesuai dengan prosedur jumonji-giri dan ususku bakal memburai, tetapi aku yakin benar kau tak akan mau menjadi algojo yang dengan cepat memenggal kepalaku dengan samurai. Kau tak akan bersedia menjadi Kaishaku-Nin karena tak pernah belajar Seiza Nahome Kaishaku. Dan kalaupun kau belajar ilmu memancung kepala dengan cepat dan baik itu, kau tak akan tega melihat darah segar muncrat dari batang leherku.

Tentu saja keinginanku untuk mati secara tak lazim, ini membuatmu tegang, waspada, dan akhirnya mendorongmu mengawasi segala gerak-gerikku.

Aku juga mengerti hatimu pasti tersobek-sobek saat di ranjang ketika sebagai mayat hidup, aku menangis tersedu-sedu dan mendesis, ”Arok, mein Herz, mari, mari tolonglah diriku kaukeluarkan dari kungkungan hidup yang tak berguna dan tak berharga ini! Selama hidupku, aku mencintai kamu; ayolah Arok, mein Süsser4 , tolonglah diriku ini!”

O, mengapa aku begitu cengeng? Bukankah jika aku gigrik pada maut, sudah sejak dulu kuserahkan tubuhku pada amuk gas yang diembuskan para tentara di ghetto? Bukankah jika aku lebih karib pada kematian, sudah sejak dulu kusongsong saja peluru atau runcing bayonet para serdadu? Tidak, Arok, tidak, aku sangat memuja hidup. Dan 90 tahun hidup di dunia—meskipun tak selamanya bersamamu—dengan cinta dari lelaki dari Negeri Kepulauan yang tak tertandingi tentu lebih berharga dari bunuh diri yang paling patriotik sekalipun.

Karena itu, aku biarkan Malaikat Maut mencabut nyawaku pelan-pelan. Aku biarkan dia mempermainkan denyut jantungku menyerupai irama dentuman bedhug Kitaro atau gesekan biola ngawur Vanessa Mae. Dan tahu betapa insufisiensi jantungku bakal tak bisa disembuhkan, aku justru bersemangat menjalani hidup. Kau tahu, Arok, menjelang kematianku pun, aku masih bergembira membuat film. Aku juga masih mengendarai mobil, berbelanja, atau bertemu teman-teman mudaku. Malah, ketika titik nadir kehidupan mulai tampak, aku masih punya jadwal kencan dengan para ahli akupunktur.

Apakah pada saat itu kau kerap mendengarkan aku bercakap-cakap dengan Claudia Okonek, fotografer yang sangat karib denganku, mengenai keindahan tubuh orang-orang mati? Tubuh orang mati memang tak seindah Kristus tersalib yang melayang- layang di angkasa dalam lukisan Penyaliban Putih March Cagal yang mengerikan. Tubuh orang mati juga tak seburuk dan sesunyi raga Isa yang terbujur kaku, kurus, kering, dan tak berdaya diimpit semacam sarkofagus dalam lukisan Hans Holbein, Tubuh Kristus dalam Makam. Tubuh orang mati, menurutku, menyerupai keagungan badan Yesus saat ia mikraj, saat Raja Orang Yahudi itu melayang-layang menembus awan. Kau tak perlu mencari Salvador Dali atau Kollwitz untuk mempercakapkan keindahan yang tak tepermanai itu. Di setiap rumah orang-orang Eropa yang masih memuja keagungan katedral, kau akan mendapatkan tubuh pualam pria dari Nazareth itu terpajang di sembarang dinding, di sembarang ruang.

Tapi, kau sangat tahu, Arok, aku bukanlah pemuja kemolekan tubuh. Juga terhadap tubuhku, tubuh yang kerap kauanggap sebagai boneka asing yang dibentuk oleh penggerabah paling kampiun itu. Karena itu, kubiarkan saja segala yang terjadi pada tubuh. Kubiarkan badanku yang tiba-tiba susut menjadi kecil dan sangat ramping. Kubiarkan juga ketika tubuhku yang kian mengeriput seakan-akan tak bisa lagi menempati cangkang. Aku membayangkan tak sekadar menyusut, tidak lama lagi tubuh itu akan meleleh seperti lilin yang terus-menerus dibakar, seperti plastik yang hangus, seperti cacing berlendir yang baru saja disiram bensin dan menggelepar di semak belukar.

Pada saat-saat seperti itu, aku ingin memberimu hadiah terindah, Arok. Ketika usiaku menjelang 90 dan kau baru 70 tahun, rasanya tidak adil jika aku tetap mengharapkan kau hidup dalam dekapan sunyi tubuh yang telah berjingkat-jingkat menjadi mayat. Karena itu, pada saat masih hidup, aku sangat berharap Adele, perempuan pualam 60 tahun dari New Zealand, asisten kita yang memahami nada-nada anehmu, itu bersedia menjadi mempelai barumu.

Namun aku yakin benar, sambil memainkan gamelan dengan lengking paling thing, kau akan menolak mentah-mentah permintaan ganjilku itu.

”Apakah kini kau menganggapku sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta, sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?”

Tak kugubris teriakan tak keruanmu. Aku yakin segalanya gampang kausangkal. Jika kelak pada akhirnya kau tetap menolak mencintai perempuan yang sejak dulu sangat memujamu itu, tidak ada cara lain, aku yang senantiasa kau anggap kesurupan gairah Eva Braun saat bercumbu, akan menyusup ke dalam jiwanya yang masih ranum.

Namun, mengertilah, Arok, aku tidak ingin mencintaimu dengan cara yang sekonyol itu. Karena itu, sebelum mati, aku berusaha menciptakan situasi yang membuat hidup kalian saling bergantung. Kadang-kadang kubiarkan kalian berjalan-jalan sendiri ke hutan-hutan tropis atau kota- kota romantis. Kadang-kadang –ini yang tak kalian sadari—aku telah memengaruhi siapa pun agar memperbolehkan kalian menikah pada saat lampu-lampu di Berlin menguarkan warna hijau, pada saat hujan membentur-bentur kaca jendela apartemen dalam nada yang mengingatkan kita kepada desau angin ketika Adam dan Eva diusir dari Eden, dari taman yang senantiasa kauanggap sebagai surga.

Tetapi jangan sekali-kali menganggap Adele hanya sebagai boneka rapuh atau hewan persembahan dalam persekongkolan cinta kita, Arok. Dia, aku tahu, pada saatnya nanti akan menjadi malaikat termanis yang mengembangkan sepasang sayap untuk melindungimu dari hajaran bengek dan encok. Dia pula yang akan menemanimu kembali menikmati harum pohon kelapa, wangi kemangi, dan sedap makanan tanah asal di Negeri Khatulistiwa. Kelak kau akan paham betapa segala yang kaucurahkan padaku, pada tubuh jeruk keriput ini, membuahkan Adele yang mengerti bahwa dalam keindahan cinta, tak perlu lagi sepasang hewan yang senantiasa mendesis di keheningan sofa mempertanyakan mengapa mereka senantiasa menjadi kanak-kanak tanpa dosa.

”Tapi aku beranjak tua dan pikun, sedangkan Adele masih cukup ranum,’’ kubayangkan kau tetap menolak keinginanku.

Ya, dulu saat kau mencintaiku, saat kau mencintai hewan uzur yang terusir dari kebun binatang Berlin, aku juga merasa mencintai kanak-kanak yang berwajah serigala. Kadang-kadang aku bahkan merasa menjadi Jocasta bagi Oedipus, sehingga ingin kucungkil bola mataku agar tak kulihat keranuman bocah yang kucinta.

Tetapi sudahlah, Arok, hari ini toh akhirnya kau menikahi Adele. Hari ini toh kaubiarkan hujan menerpa neon-neon hijau, sehingga bahkan kereta yang melewati Stasiun Friedenau pun tampak seperti binatang purba serupa anaconda membelah kota.

Apakah cinta telah menghijau pula? Tak perlu kita persoalkan apakah warna cinta menyerupai maut atau cemara. Aku hanya ingin kau tahu kereta yang sesaat berhenti di stasiun itu memang semula ingin menumpahkan aku dan 99 pasang malaikat yang ingin merayakan pernikahan indahmu dalam hujan hijau, dalam sihir angin Friedenau. Tetapi tak ingin menjadi hantu pengganggu, mungkin kuurungkan keinginanku mampir di apartemen barumu. Mungkin aku hanya akan menatap sepasang reptil bercinta dari kejauhan. Mungkin aku hanya akan mendengar suara dengus tak keruan berkejaran di keheningan.

Mungkin aku hanya akan…***

Berlin, September 2007-Benhil, April 2008


Catatan:

1 buah hatiku

2 komposisi musik karya Paul Gutama. Saya perlu berterima kasih kepada komponis yang kini tinggal di Berlin ini karena bertolak dari semacam catatan harian bertajuk ”Protokol Sebuah Kedukaan” yang ia tulis untuk para kerabat dan saudara, cerita ini terlahir.

3 kekayaanku

4 manisku

0 komentar:

Posting Komentar