Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Di Atas Singgasana Raja Artur

Coba saja daki Arthur's Seat. Pemandangan alam dari atas puncaknya luar biasa, apalagi saat matahari terbenam," kata Wilson, warden di penginapan kampus University of Edinburgh, lelaki setengah baya yang membiarkan jambangnya tumbuh liar dan lebat. Berkata begitu dengan senyum entah bangga atau menantang, sambil, seperti gerakan klise, mengelus jenggotnya yang bercampur warna putih itu.

Andaikata tahu aku dari Bali mungkin dia takkan demikian membanggakan pemandangan sunset yang terbentang di depan mata dari puncak Arthur's Seat. Aku bisa bercerita tentang kekaguman jutaan turis asing menikmati pemandangan sunset di pantai Kuta, di pantai Tabanan, saat matahari bersentuhan dengan siluet pura Tanah Lot di tepi laut, di Lovina saat perahu-perahu layar bergerak bagaikan bayang- bayang perahu hantu dengan bola raksasa jingga yang nyaris tercelup air laut. Toh aku tertarik juga untuk pergi, bukan lantaran aku tergoda oleh semboyan Sea, Sand, and Sunset. Kenapa tak tertarik pada pemandangan matahari terbit yang tak kalah dahsyatnya?

Bukit dengan puncak datar di Edinburg itu disebut Arthur's Seat, Singgasana Raja Arthur, dan satu sisinya mirip kepala singa, menghadap ke laut mengingatkanku pada patung sphinx yang hanya pernah kulihat fotonya. Menurut Wilson, tidak sulit menemukan jalan masuk mendaki puncak bukit itu. Dan lelaki setengah baya itu memang benar.

Dari kaki bukit tak nampak puncaknya, namun jalan mendakinya yang berbatu benar-benar tak menimbulkan masalah pendakian. Aku seperti jalan-jalan di kota saja, mendaki pelahan. Beberapa orang berpapasan di jalan dan walau tak kenal kami saling mengucap "hello."

"Wonderful up there," komentar seorang perempuan agak gemuk, wajahnya bersinar darah sehat mengalirinya.

"Masih jauh dari sini?" tanyaku berbasa-basi. Perempuan itu berhenti, aku juga berhenti. Diarahkannya telunjuknya ke jalanan berkelok, dan, "yah di situ, akan naik lagi dan naik lagi, dan kamu akan sampai di sana. Selamat bersenang-senang, ya?"

"Oke."

Setelah perempuan agak gemuk ini masih beberapa rombongan pendaki yang balik kutemui. Anak-anak anggota boys scouts dan girls scouts yang bernyanyi gem- bira, lelaki tua yang sendiri, dan juga beberapa orang pemuda yang berjalan di belakangku.

Tiba-tiba seorang pemuda, mendahuluiku dan bergumam sendiri:

"Bodoh sekali, mengapa mereka balik sekarang? Harusnya menunggu sampai matahari terbenam yang menyajikan pemandangan mendebarkan dan benar-benar menakjubkan."

Aku hanya tersenyum, terkejut atas komentarnya. Tak kukira dia peduli dengan urusan orang lain.

"Kamu tahu, aku ke sini setiap pekan, tak peduli bagaimana cuacanya."

"O, ya?" sahutku. "Pasti menyenangkan."

"Benar-benar membuatku merasa selalu muda walau setiap saat terasa perpisahanku dengan hari ini. Melihat bulan purnama hanya beberapa hari selama sebulan, tetapi menyaksikan matahari bulat bundar bisa setiap senja.

Kemudian, anehnya tanpa menunggu komentarku dia langsung mendahuluiku dengan cepat. Aku sadar bahwa dia memang sudah biasa melenggang dengan cepat ke puncak bukit itu. Hal ini mengingatkanku pada sebuah bukit di Lancaster yang kami daki. Hary punya teman perempuan yang punya mobil, dan sore itu mengajakku bertamasya ke bukit yang entah apa namanya. Alison, kalau tak salah nama teman Hary, membawa kami sedikit menjauh dari kampus Lancaster University tempatku tinggal. Sepanjang perjalanan Alison bercerita tentang petualangannya mendaki gunung.

"Ini cuma bukit kecil yang dapat didaki dalam beberapa menit saja."

Mobil diparkir di tepi padang, jauh dari kawasan bukit itu. Memasuki padang terbuka, aku sudah dapat melihat bukit itu di kejauhan berdiri kokoh, gagah, dan menantang. Persoalannya di sini bukan mendaki tetapi berjalan ke arah kaki bukit itu, mungkin sejauh dua kilo- meter atau lebih.

Melihat aku agak kecil hati, dengan enteng Allison berkata: "Tak apa kalau tak kuat jalan. Kami bisa tinggalkan kamu di tengah padang dan nanti pulangnya kami sampiri, ya?"

Sialan, pikirku. Mereka walau biasa berkendara mobil, juga jago berjalan kaki, sedangkan aku sebagai orang Indonesia memang termasuk malas berjalan kaki. Di Malang ke mana-mana aku naik becak, di Jakarta naik bus kota. Pernah aku diajak Richard Merson dan Isabel istrinya melancong sampai ke kaki dataran tinggi. Lelaki yang pernah berkunjung ke rumah kami di Singaraja itu sudah berusia tujuh puluh dua tahun, masih aktif bekerja di ladang dan mengemudikan mobilnya sendiri.

Di Somerset tempatku menginap di rumahnya, aku diajak ke kebunnya memetik sayuran dan menggali kentang untuk makan malam kami, semuanya dikerjakannya sendiri. Aku juga diajaknya berjalan-jalan ke tanah pertaniannya yang sejauh mata memandang hanya ladang terbuka. Di salah satu sudutnya terdapat sebidang tanah di mana dia melepaskan puluhan ekor domba yang merumput dengan bebas. Waktu itu akhir bulan Juli sehingga dia hanya dapat menujukkan padaku ladang pertanian yang kosong, sejauh mata memandang hanya kosong.

Seperti halnya di Lancaster, dia memarkir mobilnya dan dengan cepat mendaki lereng bukit, benar-benar hanya lereng, bukan sebenarnya sebuah bukit. Hanya dataran tinggi. Di ujungnya yang paling tinggi dia menunjukkan padaku dengan bangga bahwa itulah Wales, tanah yang tak pernah kuinjak. Dadaku naik turun dengan berat, tetapi Richard dan Isabel tenang-tenang saja, membuatku malu.

Di Lancaster aku berhasil ikut mendaki bukit dan dengan bangga pula aku dapat menyaksikan The Lake District yang tepinya ditumbuhi ribuan bunga daffodil kuning di musim semi, yang nampak dari kejauhan. Namun yang mengejutkanku, dari arah lain bukit, tiba-tiba muncul seorang lelaki, dengan mengenakan celana pendek dan kaus kutang, berlari dengan mengenakan sepatu ketsnya dan mengucap "hello" pada kami. Segera dia melintasi dataran puncak kemudian menghilang ke bawah menuruninya dan pasti juga melintasi dataran sampai ke rumah terdekat tempat mobil diparkir. Jangan-jangan dia langsung lari ke Lancaster!

Akhirnya kucapai juga puncak Arthur's Seat dengan napas lega. Beberapa orang sudah duduk di pinggir puncak, berderet-deret terpisah dari tempatku, seolah mereka ingin menyendiri, memandang ke arah matahari terbenam: ke arah barat? Waktu itu bulan April, jadi pasti matahari tak benar-benar terletak di barat, tetapi lebih dekat ke kathulistiwa.

Di sisi lain, ada tempat yang kosong di sebelah seorang perempuan, entah gadis atau sudah tua, rambutnya dibiarkan tergerai, warnanya mungkin pirang mungkin bercampur hitam, langit sudah buram.

"Hello," kataku. "Boleh saya duduk di sini, kan?"

Dia menoleh dan jelas ternyata dia gadis muda, mungkin berusia dua puluh tahun. "Kenapa tidak?"

"Bagus pemandangan dari sini."

"Bagus? Magnificent!"

"Oh!" kataku. Aku merasa bodoh dengan bahasa Inggrisku yang miskin. Aku tahu kata magnificent, tetapi tak mampu menggunakannya alam konteks yang tepat.

"Ya, ya, magnificent," kataku meletakkan pantatku di atas tanah berumput, memandang matahari yang mulai memerah. Di kejauhan puncak gereja nampak dalam siluet, lalu scafolding, besi- besi malang melintang mendukung pembangunan atau renovasi gedung jauh di sana, semua mulai nampak dalam siluet.

Aku tak banyak bertanya hanya menikmati matahari terbenam. Sinar kuning kemerahan di wajahnya. Lalu, kami saling bercerita tentang asal masing-masing. Dia dari Kanada, jauh-jauh ke Edinburgh belajar sastra, sampai matahari pun terseret ke dalam kabut yang menyelimuti kota.

Tiba-tiba muncul dalam perasaanku baris-baris puisi:

Hello Stranger on Top of Arthur's Seat

I raced with the setting sun for the opposite direction

The giant lion looked self-sufficient facing the sea

The Scottish wind pushed me up, and Edinburgh performed herself on the

Open stage

With some lights on

The winding footpath towards the top of the hill

And there: sitting on the mossy grass, the last touch of sunlight on her face

Hello, stranger. We were alone together

Exchanging glimpses of chill and extreme heat on the side of sunset

And the warm beach and the charm of gamelan and flowers on where the

sun rises

While it got rounder and rounder, the ball of fire

Pulled down by millions of slaves, with the big rope on their shoulders

So slow, so slow

When it posed fantastically by the spire

With the rest of Edinburgh almost drowned on gray

How could I picture this and keep it in the album of memory

Goodbye, stranger, said I, when

Floating on this vast ocean of darkness

Only man-made beauty of electric bulbs

You waded along the coast of the evening.

Kami harus berpisah, dan aku merasa terguncang karena jatuh cinta. Bukan ada gadis Kanada, tetapi pada magnificent sunset yang ternyata juga dapat kusaksikan dari punggung Arthur's Seat, bukan hanya di Bali. ***

Sumber: www.sriti.com

0 komentar:

Posting Komentar