Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Senja dan Kepala Kampung


Oleh Muhammad Aris

Senja! Inilah satu kata yang kami rindukan keluar dari mulut kepala kampung kami, seorang dengan jenggot panjang berjuntai, berwarna putih-keperakan, yang telah berumur, berwibawa, dan kami takuti. Dan setiap pagi, waktu kami di warung pojok kampung, sebelum kami pergi menuju tempat bekerja, kepala kampung kami selalu lewat, menyapa kami. Tetapi entah mengapa, kami selalu seperti kedatangan kepala pasukan bersama ribuan barisan dengan senjata terkokang, siap diledakkan. Serentak, berbarengan, kami bubar, segera menuju tempat kerja masing-masing, meski kopi di cangkir kami masih penuh berkepul-kepul.
Kepala kampung kami, awalnya sebelum terpilih, tak beda dengan kami, ciri khas orang-orang kampung; mudah bergaul, celetukan seenaknya ke sana-ke mari, banyak omong, dan sebagainya. Hanya ada sedikit yang berbeda dari kepala kampung kami yang satu ini; ukuran tubuh dan bukan keturunan dari kepala kampung sebelumnya. Padahal, di kampung kami, adat yang berlaku bagi pemegang jabatan kepala kampung adalah persambungan darah dari kepala kampung sebelumnya. Adat yang bagi kami adalah sah dan masuk akal, maka dari itu kami tak pernah protes terhadap adat yang berlaku tersebut. Sebab kami telah tahu dan paham pada kemampuan, keampuhan, dan kekuatan kualitasnya.
Ya, kepala kampung kami yang satu ini memang berbeda.
Kami teringat ketika pemilihan kepala kampung yang sedang berlangsung pada waktu yang lalu. Sebenarnya pemilihan kepala kampung di kampung kami bukanlah ritual yang menarik, istimewa, dan luar biasa besar. Di hati kami yang paling dalam, kami telah tahu dan memahami dengan kepasrahan tak terhingga, siapa yang nanti bakal terpilih menggantikan kepala kampung kami, yang telah empat puluh hari meninggalkan kami.
Putra almarhum kepala kampung kami telah maju ke depan, siap mengeluarkan suaranya. Dia merupakan putra tunggal. Bagi kami, secara umum; wajah, tubuh, serta penampilannya seperti tak ada perbedaannya dengan bapaknya.
”Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh!” salam berwibawanya terdengar menggema, membuat mulut kami semua terkatup. Tertutup rapat. Tanpa suara.
”Seperti yang telah sampeyan semua ketahui, bapak saya, almarhum kepala kampung ini, baru saja meninggalkan kita semua. Artinya, sopir kampung saat ini kosong. Kita semua telah mengetahui adat yang berlaku di kampung kita tercinta ini, bahwa yang berhak menggantikan beliau adalah orang yang darahnya dialiri darah beliau. Dan itu tidak lain adalah saya!”
”Betul! Kami setuju, kami setuju...!” serentak kami menyahut keras, hampir bersamaan, membuat suasana yang semula tenang jadi gaduh, gegap-gempita.
”Saya paham, saya ngerti keinginan dan maksud sampeyan semua. Hanya saja, saat ini saya merasa tidak mampu mengemban tugas tersebut!” anak kepala kampung kami terdiam. Kami semua melihat tangan anak kepala kampung kami itu bergerak, mengusap titik-titik air dari matanya, yang jatuh hampir ke pipi. Kami pun diam-tercekat. Di dalam hati kami masing-masing berbicara dan bertanya, apa gerangan yang terjadi dengan anak kepala kampung kami. Kami berusaha menebaknya, tetapi kami dengan segera mengurungkannya. Kami seolah tidak ingin tebakan kami benar. Pandangan mata kami saling bertemu, lalu serta-merta tertunduk, begitulah seterusnya.
”Besok pagi, sekitar jam sepuluh, saya akan umumkan siapa pengganti dari almarhum bapak saya. Sekarang, silahkan sampeyan semua bubar, menyelesaikan pekerjaan sampeyan, yang mungkin belum selesai. Saya minta maaf sebelum dan sesudahnya. Wassalam!”
Kami pun pulang ke rumah dengan berbagai macam pertanyaan. Sebenarnya kami tak rela dan tidak setuju dengan omongan yang baru saja kami dengar dari mulut anak kepala kampung kami. Tetapi kami tidak mampu menolaknya. Mungkin kami terlalu terbawa oleh emosi yang dibawa dan mewarnai suasana saat anak kampung berbicara. Mungkin kami terlanjur menaruh hormat pada bapaknya. Atau mungkin kami terlalu takut terhadap kutuk dari pendahulu-pendahulu kami.
Malam itu kami berkumpul di warung kopi seperti hari-hari biasa. Tetapi ada yang lain dari warung kopi tersebut, suasananya demikian ramai oleh orang-orang kampung kami, bahkan hampir semua lelaki warga kampung kami hadir di warung itu. Kami saling pandang, dan hanya saling pandang, entah mengapa, kemudian diam, tanpa bicara. Masing-masing dari kami seperti menikmati kebisuan suasana, menikmati kepulan uap kopi di meja, tanpa alunan merdu lagu dari radio, yang biasanya terdengar keras di telinga kami dan membuat kaki, tangan, dan/atau tubuh kami bergoyang. Asap rokok melambung-bertebaran memenuhi ruang. Mulut kami tak henti-hentinya menyemburkan asap rokok. Memang, sesekali kami masih beradu-saling pandang. Tetapi kami tetap diam, sibuk dengan percakapan-percakapan sendiri di kepala kami masing-masing. Malam semakin larut. Kami semakin langut.
Pagi, tepat pukul sepuluh, kami telah ramai berkumpul memenuhi depan rumah almarhum kepala kampung kami. Kami saling pandang tetapi kali ini tidak saling diam. Kami berbicara dengan lepas, ngomong ngalor-ngidul dengan bebas seolah-olah beban teramat berat yang kami alami kemarin telah terlontar atau terkubur jauh dan dalam sekali. Meskipun kami merasa masih ada yang mengganjal dan membuat kami bertanya-tanya. Dan inilah yang membuat ramai suasana percakapan kami. Mimpi. Mimpi dengan gambar dan cerita yang sama.
”Terima kasih saya ucapkan kepada sampeyan-sampeyan sekalian, yang masih mau datang ke sini, pada pagi yang sangat cerah.” Anak kepala kampung tersenyum ceria meski bagi kami senyum itu terasa aneh sebab terlihat tidak wajar seperti biasanya.
”Pertama-tama saya ingin sedikit bercerita!” batuk tiba-tiba menyerang anak kepala kampung kami. Omongannya jadi terhenti.
”Maaf, saudara-saudara. E...tadi malam saya bermimpi!” deg! Jantung kami semua sepeti berhenti seketika.
”Saya bermimpi didatangi oleh bapak saya. Waktu itu saya sedang duduk di depan rumah, bersantai sambil menghisap rokok. Dari jalan depan rumah tiba-tiba bapak berteriak dengan keras. Dia meminta saya untuk menggantikannya. Saya melihat air mata beliau bercucuran, sambil terus memandang ke arah saya!” anak kepala kampung kami tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Air matanya deras membasahi pipi dan mulutnya. Kami melihat tangannya bergerak dengan susah payah menyapu-mengusap-usap. Anak kepala kampung kami tertunduk.
”Tetapi saudara-saudara sekalian, saya mohon maaf yang tak terhingga, saya merasa tidak mampu...”
”Tidak bisa. Ini tidak bisa kami terima. Sampeyan telah ditakdirkan memimpin kami!” salah seorang dari kami berteriak.
”Ya, ya...!” kami serempak menyahutnya dengan keras.
”Kalau sampeyan menolaknya berarti sampeyan telah durhaka terhadap bapak sampeyan!”
”Iya, betul, betul...!”
”Baiklah saudara-saudara. Kalau hal tersebut adalah upah yang saya terima, saya dengan sukarela menerimanya!”
”Tidak bisa, tidak bisa...Sampeyan harus memimpin kami, sampeyan harus....”
”Iya, iya...!”
”Betul, betul...!”
”Kami mendukung sampeyan!”
”Kami ingin sampeyan!”
Seperti dikomando kami kami berteriak-teriak tak karuan, mengangkat tangan dengan kepalan yang kaku dan keras. Bergerak saling bergenggaman tangan, merangsek maju.
Anak kepala kampung kami masih diam, tak bergerak. Anak kepala kampung kami tertunduk, sibuk dengan air matanya yang tak henti mengucur.
”Dor!” tiba-tiba terdengar letusan senjata dari arah jalan depan rumah tempat kami berkumpul. Serentak keramaian-hiruk-pikuk suara kami hilang. Kerongkongan kami tercekat. Serentak pula kami balikkan tubuh kami. Mata kami melihat seseorang yang tak asing bagi kami, meski telah menghilang lama dari kampung kami. Hanya kali ini penampilannya berbeda. Seseorang, bertubuh tinggi besar, berkacamata hitam dengan seragam loreng dan pucuk senjata masih mengepulkan asap, berdiri seperti jagoan yang sering kami lihat di film-film dalam televisi.
”Kalian tidak usah ramai dan banyak omong! Akulah mimpi semalam kalian!”

**
”Tunggu dulu!” suara kepala kampung terdengar seperti geledek di siang hari dengan matahari yang membakar, menghentikan gerakan kaki-tubuh kami dari kursi panjang warung pojok kampung. Kaki-tubuh kami menjadi berat seperti ada beban beribu kilo. Kepala kami pun tidak sanggup kami angkat atau sekedar menoleh ke arahnya.
”Sampeyan semua sungguh aneh! Sampeyan kan tahu, aku ini kepala kampung sampeyan. Mengapa selama ini sampeyan menganggapku seperti hantu?!”
Suara kami seperti tersimpan dan terlontar jauh entah di alam mana. Kami hanya mampu tertunduk. Tubuh kami pun tak bergerak, tetap di tempat, dalam posisi masing-masing. Ada yang setengah berdiri siap untuk lari, ada yang tetap duduk dengan tubuh miring seolah hendak berdiri. Dan macam-macam. Kami semua seperti menjelma patung hidup. Hanya napas yang terdengar dan napas kami berbunyi cukup kencang.
”Sebenarnya aku tahu apa yang selama ini sampeyan pikirkan dan sampeyan harapkan sebab aku dan sampeyan pernah bersenda-gurau, saling bantu-membantu ketika saya belum jadi kepala kampung sampeyan.” Kepala kampung kami berjalan mondar-mandir memperhatikan wajah-tubuh kami. Dia seperti ingin tahu bagaimana tanggapan-tanggapan kami ketika mengucapkan sesuatu. Tapi kepala kampung kami selalu menggeleng, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tak ada sesuatu yang dapat diperhatikannya.
”Baiklah, sekarang sampeyan semua boleh bergerak. Silahkan tinggalkan tempat ini dan menuju tempat kerja sampeyan. Hanya saja tolong ingat-ingat pesan saya; saya adalah kepala kampung sampeyan. Tidak perlu mengganggap saya sebagai hantu. Dan yang paling penting apa yang sampeyan harapkan dari saya, suatu hari, dan yakinlah tak akan lama, pasti akan saya penuhi. Selamat pagi. Selamat bekerja!”
Kepala kampung kami berjalan meninggalkan warung pojok kampung, dan kami. Langkahnya tegap, tanpa menoleh lagi ke belakang. Kaki-tubuh kami tiba-tiba dapat bergerak kembali. Kami saling pandang.
”Siapa yang sebenarnya salah?!” kami saling bercakap, seperti kesadaran yang tiba-tiba datang. Lalu kami bergerak dengan gontai namun santai. Tidak seperti hari-hari yang lalu, seperti ada hantu yang terus membayangi setiap langkah kami.
Gemuruh angin berdesir menyentuh ranting-ranting, daun, kelebatan pring-bambu, juga tubuh kami adalah suara kami. Kampung kami, mungkin juga kampung-kampung yang lain, tiap hari mulai didatangi mendung disertai guntur dan kilat. Kami tahu semua yang kami alami dan lakukan mungkin pertanda atau takdir yang sampai detik ini belum selesai kami rasakan. Tetapi kami masih tanamkan di hati kami, dan selalu, bahwa ini bukan musibah. Suatu saat apa yang kami dambakan tentu akan tercapai. Sebuah suara akan mampir ke telinga kami. Suara yang merdu dan indah; Senja! **

Sumber: Harian Sinar Harapan, Lamongan

0 komentar:

Posting Komentar