Oleh
Muhamad Nasir
PALEMBANG - Pulau itu berada di tengah Sungai Musi, tepatnya lima kilometer sebelah hilir Jembatan Ampera. Meskipun air Sungai Musi sedang pasang, pulau ini tak pernah terendam. Karena itulah, pulau ini dinamakan Pulau Kemaro.
Di pulau seluas kurang lebih 24 hektare ini berdiri kompleks kelenteng Hok Tjing Bio. Di depannya terdapat makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Konon, hubungan putri Palembang dan putra raja China ini berakhir tragis di tengah Sungai Musi. Sembilan guci berisi emas yang akan diberikan kepada keluarga Siti Fatimah sebagai syarat pernikahan mereka, tanpa sengaja dibuang ke Sungai Musi. Karena menyesal dan berusaha mengambil kembali guci itu, mereka berdua tenggelam.
Di tempat guci itu dibuang dan mereka berdua tenggelam itulah, kemudian tumbuh sebuah dataran yang lalu dinamakan Pulau Kemaro. Di pulau ini jugalah Tan Bun An dan Siti Fatimah dimakamkan.
Kisah yang mengandung pesan kebersamaan antara suku asli Palembang dengan pendatang ini sudah lama terjalin dengan baik dan akrab di telinga warga Palembang, baik yang pribumi maupun keturunan Tionghoa. Seperti Risa Zhang (23), yang sangat fasih menuturkan kisah ini. Setiap tahunnya, warga Palembang bersama keluarga dan teman-temannya mengunjungi Pulau Kemaro untuk merayakan Cap Go Meh.
Acara yang dirayakan pada hari ke-13 setelah Sin Cia ini, selalu membuat pulau itu dipenuhi orang-orang. ”Selain dari Sumsel dan daerah lainnya di Indonesia, ada yang datang dari Singapura, Vietnam, dan Malaysia,” kata Risa.
Semenjak pagi sampai malam, berbondong-bondong orang berdatangan. Ada yang menggunakan tongkang dari Benteng Kuto Besak, Kelenteng Serikat di 16 Ilir, dan ada juga yang lewat darat melewati ponton dari PT Pusri.
Dalam perayaan Cap Go Meh, biasanya diramaikan dengan barongsai, opera China dan band yang melantunkan lagu mandarin. Pertunjukan yang berlangsung sampai jam 03.00 pagi itu biasanya dihadiri ribuan orang, membuat pulau itu juga ramai dengan orang yang menjajakan makanan, minuman, aksesori, sampai mainan anak-anak.
”Tepat tengah malam, kebanyakan pengunjung beribadah dan membakar hio sebagai tanda penutupan perayaan tahun baru,” tutur Risa. Selain untuk peribadatan umat Buddha, kelenteng yang berdiri sejak 1962 itu juga dibuka untuk umum. Pada hari biasa, kelenteng jauh lebih sepi. Selain untuk beribadah, ada juga yang datang hanya untuk wisata.
Berharap Enteng Jodoh
Pulau Kemaro juga kerap didatangi pasangan muda-mudi yang ingin mendapat jodoh. Bukan hanya berharap bertemu pasangan di pulau itu, namun setelah pulang dari pulau itu mereka berharap akan enteng jodoh.
Selain itu, tidak jarang juga orang yang datang ke pulau itu ingin mengetahui rezeki di masa depan. Tepat di depan dua makan yang dikeramatkan itu, seorang pemandu akan membantu kita mengulurkan kedua tangan pada sebatang tongkat panjang. Dari ukuran tangan yang kedua itu, pemandu akan menjelaskan keberuntungan kita yang akan datang.
Rindangnya pohon serta pemandangan sungai yang mengasyikkan menjadikan tempat tersebut layak dikunjungi. Bahkan perjalanan menyusuri Sungai Musi yang memakan waktu kurang dari satu jam dari Bentang Kuto Besar dengan menggunakan ketek, cukup mengasyikkan.
Ketika memasuki Pulau Kemaro kita akan disambut pendopo berarsitektur China. Kelenteng Hok Tjing Bio seluas 3,5 hektare itu pun kental dengan nuansa China, warna merah keemasan mendominasi. Dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan hio yang dibakar terasa di setiap ruangan.
Di bagian lain, kehidupan masyarakat biasa juga terlihat sangat alami. Meskipun perkampungannya diisi rumah-rumah yang jaraknya berjauhan, memberikan kesan alami yang sesungguhnya. Mereka hidup bertani dan menempati rumah-rumah kayu.
Pulau itu dulu pernah dijadikan tempat pembuangan pasca-Gerakan 30 S. Mereka yang dianggap anggota dan pendukung gerakan ini dibuang ke pulau ini. Di beberapa tempat masih terlihat bekas kamp pembuangan tersebut.
Pulau Kemaro bisa dijangkau dari Jembatan Ampera. Di dekat jembatan Ampera disiapkan kapal khusus, atau bisa juga menggunakan perahu ketek dengan tarif yang lumayan murah. Atau Anda bisa memilih speedboat. Rute yang dilayani biasanya selain ke Pulau Kemaro juga ke lokasi wisata yang lain.
Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id
Muhamad Nasir
PALEMBANG - Pulau itu berada di tengah Sungai Musi, tepatnya lima kilometer sebelah hilir Jembatan Ampera. Meskipun air Sungai Musi sedang pasang, pulau ini tak pernah terendam. Karena itulah, pulau ini dinamakan Pulau Kemaro.
Di pulau seluas kurang lebih 24 hektare ini berdiri kompleks kelenteng Hok Tjing Bio. Di depannya terdapat makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Kisah cinta mereka berdualah yang menjadi legenda terbentuknya pulau ini.
Konon, hubungan putri Palembang dan putra raja China ini berakhir tragis di tengah Sungai Musi. Sembilan guci berisi emas yang akan diberikan kepada keluarga Siti Fatimah sebagai syarat pernikahan mereka, tanpa sengaja dibuang ke Sungai Musi. Karena menyesal dan berusaha mengambil kembali guci itu, mereka berdua tenggelam.
Di tempat guci itu dibuang dan mereka berdua tenggelam itulah, kemudian tumbuh sebuah dataran yang lalu dinamakan Pulau Kemaro. Di pulau ini jugalah Tan Bun An dan Siti Fatimah dimakamkan.
Kisah yang mengandung pesan kebersamaan antara suku asli Palembang dengan pendatang ini sudah lama terjalin dengan baik dan akrab di telinga warga Palembang, baik yang pribumi maupun keturunan Tionghoa. Seperti Risa Zhang (23), yang sangat fasih menuturkan kisah ini. Setiap tahunnya, warga Palembang bersama keluarga dan teman-temannya mengunjungi Pulau Kemaro untuk merayakan Cap Go Meh.
Acara yang dirayakan pada hari ke-13 setelah Sin Cia ini, selalu membuat pulau itu dipenuhi orang-orang. ”Selain dari Sumsel dan daerah lainnya di Indonesia, ada yang datang dari Singapura, Vietnam, dan Malaysia,” kata Risa.
Semenjak pagi sampai malam, berbondong-bondong orang berdatangan. Ada yang menggunakan tongkang dari Benteng Kuto Besak, Kelenteng Serikat di 16 Ilir, dan ada juga yang lewat darat melewati ponton dari PT Pusri.
Dalam perayaan Cap Go Meh, biasanya diramaikan dengan barongsai, opera China dan band yang melantunkan lagu mandarin. Pertunjukan yang berlangsung sampai jam 03.00 pagi itu biasanya dihadiri ribuan orang, membuat pulau itu juga ramai dengan orang yang menjajakan makanan, minuman, aksesori, sampai mainan anak-anak.
”Tepat tengah malam, kebanyakan pengunjung beribadah dan membakar hio sebagai tanda penutupan perayaan tahun baru,” tutur Risa. Selain untuk peribadatan umat Buddha, kelenteng yang berdiri sejak 1962 itu juga dibuka untuk umum. Pada hari biasa, kelenteng jauh lebih sepi. Selain untuk beribadah, ada juga yang datang hanya untuk wisata.
Berharap Enteng Jodoh
Pulau Kemaro juga kerap didatangi pasangan muda-mudi yang ingin mendapat jodoh. Bukan hanya berharap bertemu pasangan di pulau itu, namun setelah pulang dari pulau itu mereka berharap akan enteng jodoh.
Selain itu, tidak jarang juga orang yang datang ke pulau itu ingin mengetahui rezeki di masa depan. Tepat di depan dua makan yang dikeramatkan itu, seorang pemandu akan membantu kita mengulurkan kedua tangan pada sebatang tongkat panjang. Dari ukuran tangan yang kedua itu, pemandu akan menjelaskan keberuntungan kita yang akan datang.
Rindangnya pohon serta pemandangan sungai yang mengasyikkan menjadikan tempat tersebut layak dikunjungi. Bahkan perjalanan menyusuri Sungai Musi yang memakan waktu kurang dari satu jam dari Bentang Kuto Besar dengan menggunakan ketek, cukup mengasyikkan.
Ketika memasuki Pulau Kemaro kita akan disambut pendopo berarsitektur China. Kelenteng Hok Tjing Bio seluas 3,5 hektare itu pun kental dengan nuansa China, warna merah keemasan mendominasi. Dua menara tempat pembakaran uang emas, ruang utama, ruang belakang, dan hio yang dibakar terasa di setiap ruangan.
Di bagian lain, kehidupan masyarakat biasa juga terlihat sangat alami. Meskipun perkampungannya diisi rumah-rumah yang jaraknya berjauhan, memberikan kesan alami yang sesungguhnya. Mereka hidup bertani dan menempati rumah-rumah kayu.
Pulau itu dulu pernah dijadikan tempat pembuangan pasca-Gerakan 30 S. Mereka yang dianggap anggota dan pendukung gerakan ini dibuang ke pulau ini. Di beberapa tempat masih terlihat bekas kamp pembuangan tersebut.
Pulau Kemaro bisa dijangkau dari Jembatan Ampera. Di dekat jembatan Ampera disiapkan kapal khusus, atau bisa juga menggunakan perahu ketek dengan tarif yang lumayan murah. Atau Anda bisa memilih speedboat. Rute yang dilayani biasanya selain ke Pulau Kemaro juga ke lokasi wisata yang lain.
Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id
0 komentar:
Posting Komentar