Kegiatan budaya setiap bulan Sapar (kalender Jawa, red) yang diawali dengan kirab yang diikuti 5.000 orang lebih ini, dimaksudkan untuk mengenang dan menghormati leluhur sekaligus cikal bakal Desa Ambarketawang, Kyai dan Nyai Wirosuto yang terkubur oleh guguran batu gamping di wilayah setempat.
"Kyai Wirosuto adalah abdi dalem ’penangsong’ (pembawa payung kebesaran) Sri Sultan Hamengku Buwono I," kata ketua panitia Saparan Bekakak, Suparyanto.
Menurut dia, ketika Sultan HB I memutuskan untuk memindah pusat kerajaan di Yogyakarta, Kyai Wirosuto tidak ikut berpindah dan memilih untuk tetap tinggal di Ambarketawang.
"Dari situlah kemudian Kyai dan Nyai Wirosuto dianggap sebagai cikal bakal penduduk yang saat ini mendiami wilayah Kecamatan Gamping," katanya.
Peserta kirab antara lain pasukan keraton yang mengiringi gunungan sayur-sayuran serta dua pasang ’Bekakak’ (boneka pengantin yang terbuat dari ketan).
Kirab dimulai dari depan Balai Desa Ambarketawan menuju Gunung Gamping di sebelah selatan desa itu.
"Turut pula menyemarakkan kirab sekitar 20 pasukan berkuda dan empat pasukan gajah serta kelompok seni lainnya," katanya.
Ketika kirab sampai di Gunung Gamping, kedua boneka pengantin tersebut disembelih, dan ’darahnya’ yang terbuat dari campuran gula kelapa dan air dibagikan kepada pengunjung.
"Upacara adat Saparan Bekakak diawali pada Kamis (12/2) malam dengan menggelar upacara midodareni serta pertunjukan wayang kulit semalam suntuk," katanya.
Kemudian pada Jumat sore, sebelum Bekakak dikirab, digelar dipertunjukan Tari Gambyong dan fragmen Prasetyaning Sang Abdi.
"Ceritanya tentang perjuangan Kyai Wirosuto sekeluarga yang mengusir arwah jahat penunggu Gunung Gamping hingga beliau terkubur dalam reruntuhan batu gamping," katanya.(ANT)
Sumber:
http://oase.kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar