Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Wisata Budaya Upacara Perkawinan Adat Sunda

Oleh : Dr Rochajat Harun Med

Acara adat perkawinan bagi setiap suku atau etnis merupakan upacara yang sakral. Ada yang sangat tuhu pada adat Karuhun, sehingga ada hal-hal yang tabu untuk ditinggalkan. Namun ada pula yang agak longgar. Biasanya di masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur terutama yang berdarah bangsawan, aturan dan tata caranya sangatlah ketat.

Demikian pula pada upacara perkawinan adat Sunda di Jawa Barat, ada hal-hal yang masih tetap dipertahankan, namun ada pula yang sudah mulai dihilangkan atau dikurangi intensitasnya. Misalnya saja tata cara adat sewaktu melamar, atau nanyaan, nyawer, huap lingkung, seserahan dan sebagainya. Kalaulah ada, tapi sudah mengalami perobahan atau setidak-tidaknya disesuaikan dengan lingkungan jaman, kemampuan pemangku hajat, serta situasi dan kondisi setempat.


Dalam upacara perkawinan adat Sunda, pada hari perkawinan atau pernikahan, calon pengantin pria diantar dengan iring-iringan dari suatu tempat yang telah di­tentukan menuju ke rumah calon pengantin wanita. Bila pe­ngantin pria berdekatan rumah dengan pengantin wanita maka calon pengantin pria langsung menuju ke rumah calon pengan­tin wanita.

Iring-iringan rombongan calon pengantin pria di­jemput oleh pihak calon pengantin wanita. Dalam iring-iring­an tersebut calon pengantin pria dipayungi. Hal ini disebabkan lazimnya upacara pernikahan dilangsungkan di rumah orang tua calon pengantin wanita. Pada upacara pernikahan terdapat dua bagian upacara yaitu upacara akad nikah dan upacara adat pernikahan.

Sebelum acara akad nikah dimulai, terlebih dahulu diada­kan upacara penjemputan calon pengantin pria. Hal ini ada­lah sebagai adat sopan santun atau tatakrama yang telah menjadi kebiasaan umum, yaitu adanya saling menghar­gai. Untuk persiapan penjemputan, orang tua calon pengan­tin wanita membentuk panitia yang terdiri dari dua kelom­pok, yaitu:

Kelompok I terdiri dari: 1. Seorang membawa payung dan lengser; 2. Seorang membawa baki berisi mangle atau rangkaian bunga melati sebagai kalung. 3. Dua mojang membawa tempat lilin. 4. Dua mojang membawa bokor berisi perlengkapan upaca­ra sawer dan nincak endog. 5. Dua bujang sebagai pengawal (gulang-gulang)/ jagasatru.

Kelompok II terdiri dari:
1. Para mojang (dara atau gadis) dan bujang remaja ber­baris di sisi kanan kiri pintu halaman yang akan dila­lui oleh rombongan calon pengantin pria sampai ke de­pan pintu rumah.
2. Rombongan calon pengantin pria tiba, kemudian mereka dijemput di luar halaman oleh rombongan yang dipim­pin lengser.

Pembawa payung segera memayungi calon pengantin pria dengan didampingi oleh dua gulang-gu­lang. Di sebelah depannya lagi seorang dayang berjalan membawa baki yang berisi kalungan bunga. Paling de­pan ialah lengser yang biasanya berjalan sambil mena­ri dengan diiringi oleh alunan gamelan degung.

Mereka berjalan bersama-sama menurut irama game­lan menuju pintu halaman rumah. Di pintu gerbang halaman rumah, rombongan berhenti sebentar. Orang tua calon pengantin wanita telah siap ber­ada di sana. Setelah calon pengantin pria datang, ibu calon pengantin wanita mengalungkan bunga kepada ca­Ion menantunya. Selanjutnya rombongan bergerak lagi sambil di-taburi aneka ragam bunga oleh para mojang dan bujang yang berderet di kedua sisi jalan.

Dengan didampingi oleh calon mertuanya, pengantin pria dibawa masuk ke ruangan akad nikah dan dipersi­lakan duduk di kursi yang telah disiapkan. Selanjutnya pembawa acara mempersilakan kedua orang tua calon pengantin, saksi, petugas dari Kantor Urusan Agama serta beberapa orang tua dari kedua belah pihak yang di­anggap perlu, untuk duduk di tempat yang telah disedia­kan. Calon pengantin wanita dipersilakan duduk di samping calon suaminya yang selanjutnya segera di­lanjutkan upacara Akad Nikah.

Menurut peraturan agama, perkawinan dianggap sah apabi­la pada waktu akad nikah dihadiri oleh: 1. Kedua calon pengantin; 2. Wali, yaitu bapak dari kedua calon pengantin atau wakil yang ditunjuk olehnya; 3. Saksi, sedikitnya dua orang; 4. Petugas khusus dari urusan keagamaan yaitu Penghulu, Pastur/Pendeta yang akan mengesahkan perkawinan.

Sebenarnya untuk agama Islam dapat dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Islam atau di mesjid tetapi boleh juga dilaksa­nakan di rumah orang tua calon pengantin wanita. Adakalanya calon pengantin wanita tidak perlu ditemukan pada waktu akad nikah. Untuk calon pengantin yang beragama Kristen harus dilaksanakan di ge­reja.

Setelah semua persiapan selesai dan tertib, protokol/pem­bawa acara menyerahkan acara akad nikah kepada petugas KUA. Juru rias pengantin mengerudungi kepala kedua calon pengantin dengan sehelai kerudung putih. Demikianlah akad nikah mulai berlangsung dengan dipimpin oleh petugas KUA.

Tata upacara akad nikah telah diatur oleh petugas KUA. Da­lam upacara akad nikah ini tuan rumah hanya mempersiapkan tempat upacara saja dan memberikan sejumlah uang adminis­trasi sesuai dengan ketentuan umum.

Mas kawin bagi masyarakat Sunda tidak terlalu diutama­kan, dan hal ini tergantung kemampuan calon pengantin pria dan biasanya telah dirundingkan pada waktu melamar atau pada waktu seserahan.

Pada jaman dahulu banyaknya mas kawin itu dua real se suku, tetapi sekarang banyak yang tidak mengenalnya lagi. Itu sebabnya diganti dengan uang yang jumlahnya telah diatur sebelumnya. Bisa juga dalam bentuk materi seperti peralatan sembahyang. Bahkan ada pula yang maskawinnya dengan pembacaan kalimah-kalimah Thoyibah/Al-Qur’an atau syahadat. Hal ini tergantung kepada kesepakatan, kea­daan dan status seseorang (bangsawan atau masyarakat biasa).

Konon, mas kawin yang jumlah seadanya saja, tidak men­jadi persoalan. Sebab tidak pernah dibayar dan kalau dibayar, bayarannya pun tidak ditentukan. Malah ada sementara orang mengatakan, "Dibayar dengan hidangan (berekat) yaitu hidangan yang diantar dengan doa khusus atau dian­tar ketepian juga sudah lunas. Oleh karena itu, jarang sekali ada orang yang menagih mas kawin.

Ada yang berpendapat, bahwa "Perempuan itu pamali (pantang) menagih atau makan mas kawin, karena akan menjadi sial dan goyang tiang aras" (artinya tiang yang roboh). Ada lagi ucapan orang untuk memperolok-olok tentang hendak menagih mas kawin itu katanya, "Saya bukan keturun­an orang yang suka menagih mas kawin sebab akan sial sela­ma hidup."

Namun bagi setiap orang laki-laki yang baik dan sopan tentu merasa berat jika mas kawinnya belum dilunasi, sebab menu­rut sesepuh, barang siapa tidak melunasi mas kawinnya akan mendapatkan kesukaran dalam sakaratul maut. Karena itu, jika ada orang yang sulit menghembuskan napas terakhirnya, orang suka berkata, "jangan-jangan ia belum membayar mas kawin."

Oleh karena itu kalau sang suami hendak meninggal dunia, sang istri sering berkata: "janganlah mas kawin men­jadi berat, dengan ridho saya sedekahkan." Sebaliknya kalau sang istri yang akan meninggal dunia katanya "janganlah mas kawin itu memberatkan, saya minta ridhonya."

Pada jaman sekarang ini, bila ada perceraian yang disebab­kan adanya perkara-perkara yang sulit, pihak wanita sering minta pertimbangan pengadilan untuk menagih tamlik (perkara rumah dan sebagainya yang harus diberikan suami kepada istri), mas kawin dan uang belanja selama dalam idah.

Sesungguhnya hal mas kawin itu menurut sesepuh, hanya sebagai lambang saja bukan sebagai pembeli suka atau tanda cinta. Mas ialah sebuah logam mulia yang warnanya merah kekuning-kuningan dan benda berharga dari benda-benda lainnya. Kawin artinya kawan atau teman setia. Jadi hal ini mengandung arti kata bagi suami: "Jika saya jadi berkawan dengan kamu, biarlah aku terlihat merah seperti emas, artinya keluar darah atau mati" atau "aku memperistri kamu dan sanggup hingga mengeluarkan darah sekalipun demi untuk menjaga keselamatan kamu." Oleh karena itu dalam bahasa Kawi, mati itu dikatakan ngemasi (ang - emasi).

Adapun mas kawin calon pengantin pria dapat berbentuk uang, barang seperti emas, alat-alat sembayang atau Kitab Suci dan lain-lain. Dengan demikian upacara akad nikah selesai, ditutup dengan doa dan ucapan terima kasih kepada Penghulu, Pastor atau Pendeta dan para saksi-saksi.

Demikianlah sekilas info mengenai pernak-pernik upacara perkawinan adat Sunda. Sebetulnya masih banyak lagi hal-hal harus selalu dipersiapan dalam penyelenggaraan pernikahan ini. Antara lain pakaian khusus pengantin pria maupun wanita; upacara adat seperti nyawer maupun tausiah; huap lingkung setelah selesai akad nikah; sumpah/janji pengantin pria yang nanti akan menjadi kepala rumah tangga, dan sebagainya. (*)

Sumber:
http://www.kabarindonesia.com







0 komentar:

Posting Komentar