Oleh: Jumhari
Jati diri budaya hanyalah sehelai benang dalam jaring-jaring hubungan
yang kompleks yang membangun suatu komunitas yang multikultur.
(Manneke Budiman dalam Ki Supriyoko)
yang kompleks yang membangun suatu komunitas yang multikultur.
(Manneke Budiman dalam Ki Supriyoko)
A. Pengantar
Topik yang diberikan oleh panitia Seminar Sejarah dan Budaya Pasemah kepada kami adalah menyorot persoalan identitas dan jati diri budaya suku Pasemah ditengah kebudayaan globlal dalam perspektif kebudayaan di Indonesia. Tema ini dalam konteks kekinian merupakan tema yang seringkali dibicarakan secara luas, baik dikalangan akademisi, budayawan maupun masyarakat awam. Semangat otonomi daerah yang saat ini menjadi paradigma baru dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan nasional menggantikan model sentralisme sebelumnya. Dalam kacamata politik dan ekonomi, otonomi daerah dipandang sebagai peluang bagi daerah untuk memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Kemudian pada konteks budaya, otonomi daerah dimaknai pula sebagai starting point bagi penguatan kembali akar budaya masyarakat lokal yang selama ini sempat berada tenggelam dibawah bayang-bayang wacana keseragaman dan budaya monolitik rezim orde baru.
Atmosfir desentralisasi, demokratisasi dan kebebasan pers yang dirasakan oleh bangsa Indonesia pada awal abad ke-21 merupakan proses sejarah yang harus kita terima. Sekarang kita berada dalam pusaran arus dunia globlal, suka atau tidak suka kita harus menghadapi serbuan beragam informasi dari berbagai penjuru dunia, yang barangkali memiliki tata nilai dan kultur yang mungkin bertentangan dengan kepribadian dan jati diri kita.
Persoalan kita saat ini adalah bagaimana bangsa ini mampu dan tanggap terhadap perubahan globlal dan secara cerdas menangkap peluang dari kemajuan tehnologi informasi. Dalam konteks otonomi daerah (kebudayaan) bagaimana pemerintah daerah beserta semua komponen masyarakatnya mampu merumuskan kembali persoalan menyangkut identitas dan jati diri budaya mereka, serta dengan cara apa mereka mengimplematasinya dalam tataran praktis. Orang Pasemah sebagai entitas dan kelompok masyarakat dengan segala atribut budaya yang dimilikinya tentu saja menghadapi problematika budaya sebagaimana halnya dialami pula oleh kelompok suku bangsa lain di belahan bumi Indonesia. Dalam makalah singkat ini, kami ingin memberikan sedikit sumbang saran dan pemikiran bagaimana merumuskan kembali identitas dan jati diri orang Pasemah dari perspektif historisnya.
B. Pasemah dalam Perspektif Sejarah
Negeri Pasemah dan masyarakatnya memiliki keunikan tersendiri setidaknya ini menurut gambaran JSG Grambreg, seorang pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam laporan tertulisnya tahun 1825 mengenai penaklukan Pasemah, seperti terlihat dari ilustrasi Gramberg mengenai daerah ini:
“Barang siapa yang mendaki Bukit barisan dari arah Bengkulu, dan kemudian menjejakkan kaki di tanah kerajaan Palembang yang begitu luas; dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (negeri empat gerbang) menuju ke dataran Lintang yang indah, sehingga ia mencapai kaki sebelah barat Gunung Dempo, maka sudah sampailah ia di negeri Pasemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi, maka akan tibalah ia disisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah tenggara, dan jika dari disitu berjalan terus lebih ke timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederatan pegunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk perbatasan alami negeri Pasemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda.”
Dari kutipan diatas bisa kita menyimpulkan bahwa pada saat itu, Pasemah merupakan negeri yang merdeka dan belum tersentuh oleh kekuatan asing (Hindia Belanda). Operasi-operasi militer untuk menaklukan daerah ini menurut Johan Hanafiah, seorang Sejarawan terkemuka di Sumatera Selatan berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Ekspedisi militer Belanda sendiri mulai dilakukan dari tahun 1821-1867. Orang Pasemah dalam pandangan kaum kolonial dicitrakan sebagai kelompok masyarakat yang cenderung stereotype seperti kesan sebagai orang liar, tidak beradab sebagaimana ilustrasi mereka mengenai orang Pasemah seperti dibawah ini:
“Itulah sebabnya orang Pasemah berpenampilan khas seperti yang kita dapati sekarang : suatu bangsa yang kasar, memiliki pikiran-pikiran yang terbatas banyaknya mengenai kebebasan, tak pernah berkembang secara intelektual dan hanya memiliki pengetahuan tentang pertanian.”
Dalam peta kolonial Belanda daerah Pasemah merupakan wilayah yang berada diantara Karesidenan Palembang dan wilayah Asisten Residen Bengkulu, dimana dibagian selatan dan barat daya berbatasan dengan afdeeling Manna, Tallo dan Pasemah Ulu Air Keruh (masuk wilayah Bengkulu). Dibagian barat dan utara dengan daerah Rejang, Ampat Lawang dan Kikim serta di timur dan tenggara yakni daerah Mulak Ulu, Semendo Darat dan Semendo Ulu Luas, yang kesemuanya masuk wilayah Palembang. Daerah Pasemah sendiri terdiri dari Pasemah Lebar, Pasemah Ulu Lintang, Pasemah Ulu Manna dan Pasemah Ulu Keruh.
Pasemah yang kita kenal sekarang, sebenarnya lebih merupakan kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Muhammad Saman seorang budayawan dan sesepuh disana. Sedangkan penduduk setempat menyebut diri mereka sebagai “orang Besemah”. Legenda tentang asal usul orang Pasemah, menyebutkan seorang tokoh sakti yang dianggap sebagai leluhur mereka-puyang Atong Bungsu-karena keterkejutan melihat banyak ikan “semah” di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo.
Orang Pasemah memiliki ciri fisik dan karakter yang berbeda dengan orang Melayu disekitarnya. Gramberg menyebutkan setidaknya ada 2 anasir asing yang memiliki pengaruh kuat disini, yakni pengaruh Jawa dan Lampung, seperti terlihat dalam aspek lingustiknya. Gramberg juga menggambarkan adanya perbedaan yang mencolok antara orang Pasemah dengan orang Melayu di dataran tinggi yang tinggal disekitarnya, menurutnya orang Pasemah sudah memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dalam lapangan pertanian (persawahan). ketimbang penduduk lokal lainnya yang masih bersifat primitif (berladang).
Dari perspektif geo-politik masa pra kolonial, daerah Pasemah bersama Rejang menjadi semacam bufferstate¬-daerah penyangga- yang memisahkan antara pengaruh Banten di daerah Bengkulu dan Majapahit di Palembang. Kemudian pada masa kekuasaan Kesultanan Palembang daerah ini dimasukan kedalam wilayah pemerintahan daerah pedalaman (ulu). Posisi Pasemah relatif otonom dan memiliki kedaulatan untuk mengatur wilayahnya, sebagai daerah Sindang mereka tidak dibebani untuk membayar pajak ataupun upeti kepada penguasa Kesultanan Palembang. Akan tetapi mereka berkewajiban membantu kesultanan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di daerah perbatasan, sebagaimana digambarkan oleh Roo De Faille dibawah ini:
Orang Pasemah bukan semata-mata orang-orang bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka, seperti terbukti dari piagam Susuhunan Ratu, telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk kepada pengakuan daripada kekuasaannya.
Struktur pemerintahan tradisional Pasemah memiliki kekhususan dibanding daerah Sumatera Selatan yang lebih kita kenal dengan sistem pemerintahan marga, disini dijumpai apa yang disebut sistem sumbai, yang keberadaanya erat dengan struktur masyarakatnmya, sumbai barangkali identik dengan pengertian suku seperti di Minangkabau atau marga di Batak. Sumbai didasarkan pada sistem patrilineal, diwariskan dari garis keturunan ayah, setidaknya ada 6 sumbai yang pernah dikenal dalam sejarah Pasemah, yakni antara lain: Sumbai Besar, Sumbai Ulu Lurah, Sumbai Pangkal Lurah (termasuk Tanjung Raya), Sumbai Mangku Anom, Sumbai Semidang dan Sumbai Penjalang.
Keenam sumbai merupakan kesatuan yang bersifat federatif yang disebut “Lampik Empat Mardika Dua”, maksudnya keempat sumbai pertama mengakui kekuasaan Sultan dengan suatu piagam antara Sultan dengan Lampit Ampat, sedangkan Sumbai Penjalang dan Semidang posisinya tidak bawah kekuasaan Sultan (merdeka) dan baru pada tahun 1886 jatuh ketangan Belanda. Ketika karakter sumbai yang semula didasarkan pada ikatan genealogis, ketika Belanda mencoba melakukan perubahan dengan unit pemeritahan yang lebih bersifat teritorial, pada akhirnya justru menghasilkan kekaburan dalam kepemimpinan formal masyarakat Pasemah.
Dalam struktur ekonomi kolonial, daerah Pasemah merupakan sentra penghasil produk pertanian yang memiliki nilai ekspor tinggi seperti kopi. Pada masa ini berkembang onderneming seperti Pasemah Estate yang pernah menghasilkan rekor tertinggi produksi kopi pada dekade kedua awal abad ke-20 sebanyak 14.000 ton. Bahkan komoditas kopi lebih dikenal dulu oleh masyarakat setempat ketimbang karet yang mengalami booming pada periode selanjutnya.
Dan yang tidak boleh kita lupakan bahwa Pasemah merupakan salah satu tempat di Indonesia yang mempunyai tempat khusus dalam studi arkeologi sehubungan dengan banyak tinggalan benda-benda pra sejarah, sebagaimana tulisan Peter Bellwood yang memasukan Pasemah sebagai penghasil bangunan megalith terpenting yang menarik perhatian para arkeolog sejak tahun 1950.
C. Revitalisasi dan Rethinking Jati Diri dan Identitas Orang Pasemah
Proses desentralisasi cenderung dilihat sebagai persoalan ekonomi semata ketika identifikasi persoalan dan pemecahan yang dilakukan cenderung mengabaikan dimensi-dimensi kebudayaan. Perubahan ekonomi dan politik cenderung direduksi dengan cara yang sederhana sehingga mengabaikan dimensi sosial dan dimensi budaya dalam proses penciptaan suatu tatanan yang lebih baik.
Menurut Irwan Abdullah dan Pande Made Kutanegara, seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, proses desentralisasi mensyaratkan pelibatan budaya daerah yang pengabaian terhadap diversitas budaya dan hak-hak budaya daerah dalam proses reformasi sistem pemerintahan akan berakibat pada gagalnya penciptaan suatu tatanan politik yang berorientasi pada good governance, khususnya karena ukuran-ukuran yang berdimensi lokal dan hak-hak budaya tidak mendapat perhatian sebagai persyaratan dalam proses kebijakan yang direncanakan dan diterapkan.
Selain itu desentralisasi harus dilihat pula sebagai proses pembukaan secara politis (pusat) dan sah (secara hukum) untuk pelibatan sumber daya sosial, budaya, ekonomi dan politik lokal, dengan demikian diskursus ini harus pula melibatkan dimensi kapital sosial sebagai perbendaharaan dalam membangun good governance. Paling tidak ada empat komponen sebagai pilihan dalam mengatasi problem otonomi dalam konteks kebudayaan yakni: pertama pelibatan konsepsi lokal tentang status-status dan peran sosial yang ada dalam masyarakat, kedua pula pengaturan hak yang berlaku dalam masyarakat, ketiga sistem akses dan kontrol yang berlaku dalam masyarakat yang berbeda dengan sistem yang dibentuk oleh negara dan yang terakhir pengaturan kekuasaan dan pola pengambil keputusan.
Dalam konteks revitalisasi dan rethinking jati diri orang Pasemah dalam kerangka otonomi daerah dewasa ini, perlunya pelibatan kembali kepimpinan lokal dalam proses pengambil putusan oleh pemerintah daerah terkait dengan proses penguatan jati diri dan identitas budaya lokal. Sejak pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 oleh pemerintah pusat, maka institusi lembaga pemerintah yang bercorak lokal seperti nagari di Sumatera Barat, maupun marga di Sumatera Selatan dengan sendirinya diganti oleh sistem pemerintahan desa yang bercorak Jawa. Ketika reformasi menjadi simbol perubahan dalam kehidupan bangsa kita, masyarakat Sumataera Barat menyambutnya dengan menerapkan kembali sistem pemerintahan nagari yang dikukuhkan melalui Perda No.9 tahun 2000. Sejauh ini menyangkut pemberlakuan marga di Sumatera Selatan baru sebatas wacana. Akan tetapi terlepas dari hal itu, ensesi utama dari revitalisasi dan rethinking jati diri orang Pasemah adalah upaya untuk mengembalikan “spirit” kepimpinan lokal dalam kerangka otonomi daerah ini.
Dalam perspektif sejarah, jauh sebelum semangat desentralisasi dan demokratisasi menjadi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita dewasa ini, masyarakat Pasemah telah mengenalnya dalam wadah yang dikenal “ Lampik Empat Mardike Due” karena pada setiap rapat pada sumbai yang dihadiri oleh perwakilan keenam sumbai, keputusan yang diambil oleh tetua adat senantiasa berdasarkan aspirasi masyarakat dengan dasar dan mufakat.
Meskipun sifat leaderships dalam sistem sumbai lebih didasarkan pada ikatan genealogis pemimpin sebelumnya, kepemimpinan dan otoritasnya mendapat kepatuhan dan lebih legitimate karena lebih berakar dalam budaya masyarakat setempat. Konsepsi kekuatan dan kharismatik pemimpin yang bersumber dari relio-magis Puyang mereka menjadi unsur kuat bagi pengikutnya. Berbagai bentuk perlawanan masyarakat lokal terhadap kesewenangan penguasa kolonial di daerah uluan sebagaimana dinyatakan oleh Jeroen Peeters, biasanya dipimpin oleh mereka yang memiliki ideologi genealogi ini.
Di Pasemah bentuk perlawanan terhadap kolonial yang berlangsung dari tahun 1821-1866, dalam bentuk tindakan yang melanggar rust en orde-nya pemerintah kolonial, seperti kekacauan yang terjadi di daerah Lahat (dusun Dadap, Sekayu, Arahan Kayu, Pandang Arang Ulu, Tinggi Hari dan Mandiangin pada tahun 1857), sehingga Belanda melakukan upaya pemadaman pemberontakan lokal tersebut.
Melalui proses revitalisasi dan rethinking terhadap budaya lokal Pasemah, persoalan prolematika kebudayaan yang barangkali kini juga dihadapi oleh masyarakat Pasemah sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya, paling tidak ada jalan keluar untuk mengatasinya. Persoalan bias globalisasi seperti terjadinya degradasi dalam kehidupan sosial masyarakat Pasemah dengan sendirinya harus ditanggapi dengan merumuskan kembali hakekat dan jati diri serta identitas budaya lokal masyarakat Pasemah yang bersumber pada local wisdom dan local genius-nya masyarakatnya. Karakter orang Pasemah sebagai kelompok masyarakat yang menjunjung kemerdekaan, kemandirian (otonom) dan kedaulatan negerinya ketika berhadapan dengan penguasa yang berbeda, seperti ditunjukan dalam sejarah mereka setidaknya menjadi bekal untuk menghadapi tantangan global. Refleksi sejarah menyiratkan simbol kegigihan dan integritas koletif orang Pasemah untuk menentang ketidakadilan dan kesewenang-wenangan terhadap penguasa yang lalim, sebagaimana dilukiskan oleh Gramberg :
“Orang Pasemah bukan bangsa pengecut. Bila detik-detik bahaya makin mendekat, dan apabila orang asing datang menjejakkan kaki dinegeri mereka untuk memberikan kegoncangan yang tak pernah mereka alami, dan memaksa mereka mematuhi undang-undang dan peraturan yang tak pernah kita kenal, apapun namanya, saya tidak akan merasa heran jika sebagian besar rakyat di Pasemah pada saat itu juga akan segera mengesampingkan segala silang sengketa diantara mereka sendiri dan bersatu padu melakukan perlawanan.”
D. Pendidikan sebagai Solusi Strategis: Sejarah Lokal dalam Muatan Lokal
Pendidikan merupakan jawaban yang krusial menghadapi problematika kebudayaan dan tantangan budaya global masyarakat. Melalui pendidikan, penanaman nilai-nilai luhur budaya bangsa diharapkan mampu menumbuhkan kembangkan kesadaran dalam diri generasi muda kita untuk lebih menghargai dan bangga terhadap budaya mereka. Untuk itu perubahan kurikulum sekolah dengan memasukan unsur budaya lokal kedalam mata pelajaran-muatan lokal-sudah menjadi hal yang bersifat urgen bagi stake holder didaerah ini.
Dalam konteks pembelajaran sejarah disekolah dari jenjang terendah sampai menengah (SD-SLTA) perlu kiranya diambil langkah strategis, seperti memasukan sejarah lokal kedalam muatan lokal selain aspek budaya dan adat-istiadat masyarakat Pasemah. Penulisan sejarah lokal perlu dilakukan sebagai komparasi terhadap mainstram Sejarah Nasional sekaligus sebagai pelengkap terhadap mata rantai sejarah yang belum dimasukan dalam mata pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah.
Penguatan nilai budaya masyarakat melalui historiografi sejarah dan budaya lokal sudah mulai dilakukan diberbagai daerah di Indonesia termasuk di Sumatera Selatan. Kiranya terlepas dari persolan metodologi ataupun keterbatasan sumber data sejarah tidak menjadi halangan serta menciutkan keinginan stake holder Pasemah untuk memulai langkah penulisan sejarah lokal Pasemah.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultur, perlu juga ada pemahaman terhadap budaya dari berbagai kelompok masyarakat lainnya yang berbeda. Artinya dengan penulisan sejarah dan budaya lokal dalam bentuk bahan tercetak maka proses saling menghargai dan pembentukan saling hubungan timbal-balik yang bersifat positif antar budaya yang berbeda bisa disosialisasikan secara luas kepada masyarakat.
Multikulturalisme pada hakekatnya juga didasari oleh kenyataan sosial budaya, bahwa kelompok pendukung kebudayaan tertentu tidak terlepas pengaruh kebudayan lain diluar lingkungan kebudayaannya , seperti yang diperlihatkan dalam proses sejarah Pasemah dimana pengaruh Jawa dan Lampung menjadi bagian dari entitas orang Pasemah.
E. Penutup
Berbagai problem kebudayaan yang kini dialami oleh bangsa Indonesia, termasuk problem kebudayaan lokal dalam menghadapi serbuan budaya globlal yang datang dari barat, kiranya telah menjadi keprihatinan semua pihak. Otonomi daerah dalam konteks kebudayaan menjadi salah satu langkah antisipatif untuk merespon kondisi kekinian. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat menjadi prasyarat yang tidak bisa dielakkan bagi stake holder untuk membenahi dan merumuskan kembali hakekat jati diri dan identitas budaya lokal masyarakat Pasemah
Pendidikan merupakan media yang strategis untuk membangun proses komunikasi budaya sekaligus sebagi sarana internalisasi budaya lokal, salah satunya melalui Muatan Lokal yang berisi materi sejarah dan budaya lokal sebagai mata pelajaran tersendiri dalam kurikulum pendidikan disekolah.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005.
Abdullah, Irwan dan Pande Made Kutanegara, “Otonomi dan Hak-Hak Budaya Daerah”, dalam Pendidikan Multiklutural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah, Ki Supriyoko (ed), Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005
Bellwood, Peter, Pra Sejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Jakarta: Gramedia, 2000
Berlian, Saudi, Ogan Komering Dalam Lintasan Sejarah, Kayu Agung: Pemkab Kabupaten Ogan Komering Ilir, 2003.
Christomy, T, “Peran Sastra Indonesia dalam Kerangka Multikulturalisme”, dalam Pendidikan Multiklutural dan Revitalisasi Hukum Adat dalam Perspektif Sejarah, Ki Supriyoko (ed), Jakarta: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2005.
Eko, Sutoro, Menggantang Asap?Kritik dan Reflkesi Atas Gerakan Kembali ke Nagari, Yogyakarta: IRE, 2005
Gunadi Brata, Aloysius Problematika Masyarakat Kopi Pasemah, Yogyakarta: Lemlit Universitas Atma Jaya, 2005
Hanafiah, Johan dkk, Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad 19, Jakarta: Masyarakat Peduli Musi, 2000
Kompas, 13 September 2002.
Makruf, Kamil, dkk, Pasemah Sindang Merdika 1821-1866, Jakarta: Pustaka Asri, 1999
Muslimin, Amrah, Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/Kampung menjadi Pemerintahan Desa/ Kelurahan Dalam Propinsi Sumatera Selatan, Palembang: Pemda Sumsel, 1986.
Najib, Mohammad dkk, Sejarah Ogan Ilir, Tradisi Masyarakat dan Pemerintahan, Indralaya: Pemda Ogan Ilir, 2006
Peeters, Jeroen, , Kaum Tuo-Kaum Mudo Perubahan Religius di Palembang 1821-1942, Jakarta: INIS, 1997
Refisrul, Sistem Pemerintahan Tradisional pada Masyarakat Besemah di Sumatera Selatan, Padang: BKSNT, laporan tidak diterbitkan, 2004
Roo de Faille, P.De Dari Zaman Kesultanan Palembang, Jakarta: Bhratara, 1971
Van Sevenhoven, J.L., Lukisan tentang Ibukota Palembang, Jakarta: Bhratara, 1971
Zed, Mestika, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Jakarta: LP3ES, 2003
hmmmmm ternyata giniyahhh
BalasHapushemm..
BalasHapusijin baca dl ya,
cz panjang juga nih