Home | Berita Opini | Peta Wisata | Wisata Alam | Seni Pertunjukan | Wisata Belanja | Wisata Bahari | Wisata Budaya | Wisata Boga | Wisata Museum | Wisata Religi | Wisata Sejarah | Cerpen
Share/Save/Bookmark

Ketika Selat Malaka Jadi Tempat " Budak" Melayu Bermain

KALAU saja Sultan Husin dan Tumenggung Abdul Rahman tidak termakan bujuk rayu John Crawfurd untuk melepaskan kekuasaan mereka atas Singapura, boleh jadi sejarah Nusantara hari ini berjalan di atas garis yang berbeda. Hanya karena tergiur imbalan masing-masing 33.200 ringgit dan 26.000 ringgit, keduanya rela ”menjual” negeri pulau itu kepada Inggris.

Namun, sejarah tak mengenal jalan pulang. Ibarat sebuah perjalanan, sejarah hanya memberi kita tiket sekali jalan. Dan, pada 2 Agustus 1824, John Crawfurd dalam kapasitasnya sebagai Residen Singapura ketika itu berhasil mendapatkan tanda tangan Sultan Husin dan Tumenggung Abdul Rahman.

Setelah melepas Singapura dan pulau-pulau sekitarnya kepada Inggris, duet penguasa dari Kerajaan Johor itu masih mendapat elaun (semacam ”santunan”) bulanan. Masing-masing 1.300 ringgit bagi Sultan Husin dan 700 ringgit untuk Tumenggung Abdul Rahman. Jika keduanya berhasrat meninggalkan Singapura, Syarikat Hindia Timur Inggris akan memberikan ”sagu hati” masing-masing 20.000 ringgit kepada Sultan Husin dan 15.000 ringgit untuk Tumenggung Abdul Rahman.

Nukilan peristiwa sejarah yang terjadi hanya beberapa bulan setelah Inggris dan Belanda menandatangani Traktat London pada 17 Maret 1824 itu melengkapi perubahan geopolitik di wilayah Nusantara. Kesepakatan Inggris dan Belanda yang berbagi koloni di kawasan Selat Melaka itu ikut mengubah peta peradaban dan perjalanan budaya bangsa Melayu di wilayah ini.

Kerajaan Melayu-Johor (lama) yang semula mencakup wilayah Riau dan Kepulauan Riau saat ini, dengan pusat pemerintahannya yang berpindah-pindah di antara Johor-Bintan- Lingga-Penyengat, akhirnya terbelah, baik secara geopolitik kekuasaan maupun dalam satuan wilayah geografis pemerintahan.

Dalam perkembangan berikutnya, pemisahan wilayah kekuasaan Melayu-Johor dan Melayu-Riau-Lingga tersebut secara perlahan memengaruhi pula pola kekerabatan warga antarbangsa serumpun ini. Lebih-lebih setelah kawasan Tanah Semenanjung dan Kepulauan Nusantara menjadi bagian dari sebuah negara yang berdiri sendiri.

Pemahaman Melayu sebagai entitas kebangsaan pun berubah: dari ”kita” menjadi ”kami”. Bahkan sebagai entitas budaya pun kemelayuan itu ikut bergeser. Apalagi, sebagaimana sinyalemen Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Mukhlis PaEni, pertautan budaya yang menyangkut hati nurani itu dikalahkan oleh kepentingan ekonomi antarnegara.

Wilayah semenanjung yang dulu adalah tempat orang-orang dari Bukit Siguntang (baca: Palembang), Minang, Bugis, Jawa, dan Aceh (sekadar menyebut beberapa nama suku bangsa) beranak-pinak sejak akhir abad ke-14, kini hanya tercatat dalam buku-buku klasik macam kitab Sejarah Melayu (1563) dalam berbagai versinya dan Tuhfat al-Nafis (1865). Rasa kebangsaan, nasionalisme, pada warga di masing-masing negara ikut menyurukkan semangat keserumpunan yang memang sudah berangsur meredup.

Dilihat dari perspektif sejarah, tak berlebihan apabila sejarawan-budayawan Taufik Abdullah sampai berucap: ”Terkutuklah Inggris dan Belanda karena mengadakan perjanjian 1824, yang telah membagi-bagi sebuah wilayah kesejarahan.”

Menggagas keserumpunan

”Bagi kami, Selat Melaka, Laut Jawa, dan Selat Sunda adalah ruang bermain. Di sana, ’budak-budak’ Melayu tidak merasa sebagai orang asing, tapi seperti di negerinya sendiri,” kata Datuk Zainal Abidin Borhan, profesor madya dari Akademi Pengkajian Melayu, Universitas Malaya.

Dalam konteks semacam itu pula, di depan peserta dialog budaya Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, Datuk Zainal Abidin Borhan sempat mengungkapkan kegusarannya tatkala ada yang menuding mereka sebagai ”pencuri” naskah-naskah Melayu klasik yang ada di wilayah Nusantara. Dia juga mengaku heran mengapa niat baiknya menghimpun naskah-naskah karya Tenas Effendy, tokoh Melayu-Riau, dituding sebagai sebuah kelancangan.

Akan tetapi, masalahnya memang tidaklah sesederhana wacana untuk menggagas terbentuknya ”negara-bangsa” serumpun, dengan Melayu sebagai basisnya. Di tengah situasi yang berubah, perspektif sejarah tak selalu berjalan seiring dengan kenyataan yang terpapar hari ini. Ketika mereka yang ada di semenanjung melihat naskah- naskah Melayu klasik sebagai warisan bersama, misalnya, sebagian (untuk tidak menyebut mayoritas) mereka yang tinggal di Kepulauan Nusantara boleh jadi berpandangan sebaliknya.

Apalagi, sebagaimana diakui oleh tokoh Melayu seperti Tan Sri Dato’ Ismail Hussein, semangat nasionalisme yang kental di masing-masing negara menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun semangat keserumpunan. ”Negara-negara jiran dilihat sebagai saingan,” katanya.

Jika sudah demikian, gagasan untuk kembali ke ”akar umbi” sebagai bangsa serumpun menjadi kian pelik. Meski Melayu sebagai basis keserumpunan dalam pemahaman orang-orang dari Tanah Semenanjung juga termasuk Jawa dan lain sebagainya, ikatan emosi di rantau Nusantara ini sendiri belum menemukan bentuknya. Persoalan ”kita” dan ”kami” masih menganga. Situasi internal semacam ini—atau internal discrepancies, meminjam istilah Taufik Abdullah—tak selamanya bisa dipahami oleh tetangga di Tanah Semenanjung.

Masalahnya memang berpulang pada niat baik semua pihak. Ucapan Datuk Zainal Kling dari Universitas Malaya ini patut direnungkan. Katanya, ”Gagasan itu memiliki obligasi moral dan sosial untuk saling membantu, meringankan beban, dan saling bekerja sama.

Sumber: Kompas, http://cabiklunik.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar