Oleh : Indira Permanasari
Alkisah hidup seorang lanun atau perompak laut yang kejam. Di Pulau Sebatik, lanun tersebut berdiam. Bersama anak buahnya merampoki kapal-kapal yang lewat, memerkosa perempuan desa, mengganggu para pedagang hingga membuat perairan menjadi kelam. Sultan Lingga sangatlah cemas dengan tindak-tanduk lanun nan kejam.
Suatu saat, lanun Pulau Sebatik jatuh cinta kepada seorang putri bangsawan dan berusaha merebut hati sang putri. Keluarga putri tersebut diganggunya. Ternyata ayah putri bangsawan tersebut yang membuang lanun itu ke Pulau Sebatik dan mengatakan ibu sang lanun telah mati.
Saat pertikaian antara keluarga bangsawan dengan sang lanun, muncul seorang panglima yang kemudian bertarung dengan lanun. Lanun yang kejam terbunuh oleh tangan panglima. Pada saat yang bersamaan pula sang ibu yang ternyata masih hidup muncul dan menangisi putranya.
Kisah tersebut dimainkan Sri Mahkota Lingga dari Daik, Lingga salah satu kelompok teater tradisional “bangsawan”, pada perhelatan Festival Budaya Melayu Internasional di Kota Tanjung Pinang, 10-16 September 2006, di Kepulauan Riau.
Di panggung Gedung Aisyah Sulaiman, telah tertata empat lapis layar dengan setting panggung istana yang digarap serius. Tidak cuma satu jenis setting.
Begitu pergantian babak, layar ungu turun dan kemudian membuka kembali dengan tampilan dekorasi panggung berbeda mulai dari suasana istana, pinggir pantai sampai hutan. Para pemain berpakaian khas Melayu berwarna-warni mengilap.
Tidak hanya setting, cerita yang dibawakan oleh kelompok teater tersebut diyakini kebenarannya atau diangkat dari kisah nyata.
“Pulau Sebatik sekarang juga entah kenapa masih angker. Orang takut bertandang ke sana,” kata sutradara Rusdy Arasy sebelum pementasan.
Pertunjukan “bangsawan” dari Daik itu ibarat hendak menghidupkan suasana di masa lampau, tidak hanya dari visual, tetapi juga cerita. “Untuk mendapatkan cerita kami mencari orang yang mengerti tentang zaman dahulu. Biasanya cerita-cerita tentang kerajaan. Orang tua yang masih ada kami datangi supaya bercerita,” kata Rusdy.
Logat dan bahasa yang dipakai juga seperti masa lalu. Supaya pas, para pemain diberi kostum yang dibayangkan merupakan penggambaran Melayu zaman kerajaan dan tentu saja benda-benda modern yang tak ada kala itu diharamkan. Pemain, misalnya, tidak diperbolehkan memakai sepatu sampai jam tangan.
Dengan segala perlengkapan itu, “bangsawan” harus dimainkan di tempat tertutup dan membutuhkan biaya yang besar. Pencahayaan dan pengeras suara harus memadai. “Sekali tampil butuh minimal Rp 5 juta. Jumlah pemain beserta kru mencapai 40 orang,” ucap pimpinan rombongan Sri Mahkota Lingga, Khamarul Zaman.
Realitas pelaku
Realitas para pelaku “bangsawan” jauh panggung dari kenyataan. Kalau di atas panggung mereka menjadi sultan, permaisuri, panglima, hulubalang, dan keluarga kaya, aslinya tidak demikian. Kebanyakan atau hampir 80 persen anggota Sri Mahkota Lingga merupakan pegawai negeri sipil dan mereka mempunyai waktu luang yang jelas.
Penghidupan tidak dapat berharap banyak dengan berkesenian “bangsawan”. Bagi mereka, berkesenian hanya meneruskan tradisi dan bukan untuk mencari keuntungan. “Satu bungkus juga kadang tidak dapat dari pementasan,” kata salah seorang pemain, Sulaiman (40), yang juga seorang guru sekolah dasar. Sang sutradara, Rusdy Arasy, berprofesi sebagai kepala sekolah dasar di Daik, Lingga.
Upah yang tidak seberapa itu habis untuk operasional pementasan, transportasi, dan sisa yang kecil itu dibagikan ke puluhan anggota.
Nasib kesenian itu juga tidak jauh berbeda dengan kesenian tradisional lain di Nusantara yang memasuki masa senja. Biaya pertunjukkan dan kekurangan generasi penerus kesenian membuat “bangsawan” sulit berkembang.
Kelompok “bangsawan” yang pentas tersebut misalnya, baru lima tahun belakangan aktif kembali setelah diadakan revitalisasi oleh pemerintah dan organisasi nirlaba. “Tadinya kami sudah terpencar-pencar. Sekarang sudah mulai berlatih dan pentas setahun tiga kali,” kata Rusdy Arasy yang sejak berumur belasan tahun sudah bermain “bangsawan”.
Perjalanan “bangsawan”
Sesungguhnya dari “bangsawan” yang dibawakan malam itu tercermin pula kehidupan pada masa Kesultanan Melayu. Pada masa kerajaan Riau-Lingga, Daik, Lingga sempat menjadi ibu kota kerajaan setelah Sultan Johor jatuh.
Aswandi Syahri dari Yayasan Khazanah Melayu yang menulis buku Mak Yong Teater Tradisional Kabupaten Kepulauan Riau mengungkapkan, “bangsawan” merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan yang diimpor di kawasan Lingga seperti Daik dan Singkep menemukan coraknya.
Teater tradisional tersebut konon berasal dari corak seni pertunjukan wayang parsi. Awalnya berkembang di Pulau Pinang dan menyebar ke berbagai daerah Kepulauan Riau.
Sebuah rombongan wayang bangsawan atau wayang parsi dari Pulau Pinang ke Istana Riau di Penyengat atas undangan Sultan Abdul Rahman Muazamsyah (1889-1911). Kemudian jenis teater itu menyebar ke beberapa daerah di Kepulauan Riau dan berkembang bentuknya.
Sutamat Arybowo, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang mendalami tentang “bangsawan” sejak tahun 1990 hingga sekarang berpendapat serupa. “Bangsawan” merupakan pertunjukan yang telah komersil lantaran dimainkan di tempat umum seperti pasar dan penonton membayar karcis.
Dia menduga teater tersebut sampai di kawasan Lingga tahun 1870-an. “Waktu itu harga kopra naik dan perekonomian sangat baik sehingga para pedagang membutuhkan hiburan. Kesenian menjadi berkembang,” katanya.
Di Daik, Lingga, perkembangan bangsawan tak lepas dari kehidupan istana. “Tadinya teater itu dimainkan di dekat istana untuk memberikan pendidikan tentang adat istiadat kerajaan sekaligus menjadi legitimasi kekuasaan,” kata Sutamat.
Namun, ada pula yang berpendapat bangsawan mengalami peralihan dari sakral ke profan. “Tadinya untuk kepentingan ritual seperti peringatan hari jadi kerajaan dan keagamaan. Setelah itu, beralih menjadi hiburan,” katanya.
Lantas, muncullah cerita khas Daik, Lingga, seperti Hulubalang Daik, Panglima Ayam Berkokok, Daeng Marewah mengambil setting cerita pada waktu kerajaan Kerajaan Riau-Lingga berdiri.
“Bangsawan” tentu saja tidak hanya sekadar hiburan yang menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi salah satu jendela untuk memahami Melayu. “Sebagai peneliti, saya sendiri, seni pertunjukan dengan metaforanya menjadi pintu masuk untuk melihat masa lalu,” ujarnya.
Sumber: media Batam pos
0 komentar:
Posting Komentar