Panorama Danau Tiga Warna Kelimutu di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memang penuh misteri yang tak terselami hingga saat ini. Perubahan warna danau yang sering terjadi di tiga kawah terpisah bekas letusan Gunung Kelimutu itu menjadi keunikan yang tak ada duanya di dunia.
Sayangnya, keindahan Danau Kelimutu tak seindah sistem pengelolaannya. Sejumlah fasilitas, terutama sarana untuk wisatawan, kini banyak dalam kondisi rusak dan tak terawat.
Misalnya saja kamar kecil, bangunan pendapa di areal parkir yang kondisinya memprihatinkan, serta kapasitas lahan parkir yang amat terbatas, yang hanya mampu menampung sekitar 20 kendaraan roda empat dan beberapa sepeda motor.
"Kondisi di lapangan memang seperti itu, tetapi bukan berarti tak ada perhatian," kata Kepala Balai Taman Nasional (BTN) Kelimutu, Untung Suprapto.
Menurut dia, sebenarnya bisa saja diperbaiki dengan anggaran dari pusat. Akan tetapi, yang menjadi dasar pertimbangan, diperlukan pengkajian terlebih dahulu secara menyeluruh, termasuk membuat site plan (rencana tata letak bangunan). "Setelah itu, baru perbaikan ataupun pembangunan sejumlah sarana penunjang yang baru, terutama untuk kenyamanan wisatawan, dapat dilakukan," ujarnya.
Danau Kelimutu sesungguhnya merupakan salah satu obyek wisata andalan Flores. Untuk mencapai danau yang terletak sekitar 51 kilometer arah timur dari kota Ende itu, wisatawan bisa menggunakan kendaraan bermotor dari Ende, juga bisa menggunakan bus antarkota.
Pemandangan di kawasan itu sangat memesona. Kabut putih tebal yang bergerak perlahan menutupi puncak Gunung Kelimutu (1.640 meter di atas permukaan laut) merupakan salah satu pemandangan yang sangat khas di sekitar tiga danau berwarna di atas puncak gunung.
Potensial
Di kawasan Danau Kelimutu banyak hal yang dapat dijumpai, yang jika dikelola secara optimal pasti akan mampu menarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
Namun, ketika Kompas mengunjungi tempat itu dua kali pada tahun ini, dari areal parkir sepanjang satu kilometer hingga tugu pengamatan, tak ada satu pun pemandu wisata dari Balai Taman Nasional Kelimutu.
Manakala situasi sepi pengunjung, suasana akan terasa senyap dan menjemukan. Kita hanya akan melihat hamparan tanah dengan sejumlah tanaman hijau, selain tentunya menyaksikan perubahan warna yang menakjubkan ketiga danau. Namun, jangan berharap ada penjelasan atau keterangan yang memadai seputar keajaiban danau itu maupun alam sekitarnya.
Di kawasan danau hanya ada satu papan yang "berjudul" Perubahan Alam, Kepercayaan Abadi. Akan tetapi, papan itu pun kondisinya sudah tak terawat, penuh goresan tangan jahil yang menghilangkan sejumlah huruf. Keterangan yang diberikan pun hanya seputar legenda secara garis besar, tidak ada penjelasan secara ilmiah.
"Untuk pemandu wisata sebenarnya kami memiliki tenaga, hanya memang belum berjalan baik. Di samping sering masyarakat merasa tidak butuh, dan juga kami menyadari keterbatasan SDM (sumber daya manusia). Kami sedang mengupayakan pelatihan lanjutan dan inventarisasi secara menyeluruh dengan kajian ilmiah. Dengan begitu, diharapkan ketika melayani pengunjung dapat memberikan pelayanan yang memuaskan," papar Untung.
Minus brosur
Tiga danau yang letaknya berdekatan satu sama lain itu juga "tidak bernama". Di sisi timur, terdapat dua danau, yang airnya masing-masing berwarna hijau dan coklat tua. Untuk danau yang berwarna hijau, masyarakat biasanya menyebutnya dengan danau arwah muda-mudi (tiwu nua muri ko’o fai). Yang berwarna coklat tua disebut danau arwah tukang tenung atau orang jahat (tiwu ata polo). Di sisi barat ada satu danau yang berwarna hijau lumut atau gelap, yang biasa disebut danau arwah orang tua (tiwu ata mbupu).
Namun, keterangan sederhana tentang nama-nama itu pun tak bisa kita temui di lokasi danau. Apalagi kalau pengunjung berharap mendapat informasi yang lebih jauh.
Menurut Untung, untuk pembuatan site plan, pihaknya kini sedang menjalin kerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu dengan Pusat Penelitian Geoteknologi.
Hal ini sebagai upaya pembaruan—terkait dengan site plan yang dibuat pada tahun 1994 untuk kawasan total seluas 5.356,50 hektar itu. Site plan waktu itu hanya memuat secara umum, antara lain lokasi bangunan yang ada milik BTN Kelimutu.
Penelitian yang akan dilakukan LIPI antara lain mengkaji perubahan warna danau, juga dinding pemisah antara tiwu nua muri ko’o fai dan tiwu ata polo yang hanya selebar lebih kurang 20 meter. Dinding ini dipandang rawan runtuh karena proses pengikisan.
"Sampai sekarang, jika ada pertanyaan-pertanyaan seputar perubahan warna saja kami tidak bisa menjawabnya secara memuaskan. Kerja sama dengan LIPI juga mencakup penelitian terhadap flora dan fauna di kawasan Danau Kelimutu. Hasil kajian itu akan menjadi acuan pembuatan site plan yang terukur. Diharapkan, nantinya dapat dipetakan antara lain di lokasi mana boleh dibangun shelter dan berapa banyak, serta di mana tempat yang nyaman dan aman untuk bumi perkemahan," ungkapnya.
Perubahan warna
Sejumlah kalangan menduga, perubahan warna air di danau itu disebabkan aktivitas gunung berapi Kelimutu, pembiasan cahaya matahari, adanya mikro biota air, terjadinya zat kimia terlarut, serta akibat pantulan warna dinding dan dasar danau.
Ketika hal ini dikonsultasikan oleh BTN Kelimutu kepada pihak LIPI, diberikan penjelasan singkat bahwa perubahan warna air ke biru putih (sekarang hijau) dimungkinkan oleh perubahan komposisi kimia air kawah akibat perubahan gas-gas gunung api, atau dapat juga akibat meningkatnya suhu.
Sementara itu, meningkatnya konsentrasi besi (Fe) dalam fluida menyebabkan warna merah hingga kehitaman (sekarang coklat tua). Adapun warna hijau lumut dimungkinkan dari biota jenis lumut tertentu.
Lalu soal dinding pemisah antara tiwu nua muri ko’o fai dengan tiwu ata polo diberikan penjelasan singkat bahwa dari sudut geologi, bagian dinding danau merupakan bagian yang paling labil. Dengan posisi berdekatan, apalagi jika terjadi gempa dengan skala besar, tidak menutup kemungkinan kedua danau ini akan menyatu.
Untung menambahkan, pembuatan site plan nantinya juga diproyeksikan mencakup tentang kondisi Gunung Kelimutu yang termasuk gunung api. Pihak pengelola memerlukan data dan informasi awal bilamana akan terjadi gunung meletus. Hal ini untuk digunakan sebagai dasar menutup kunjungan ke Danau Kelimutu.
Selain itu, mengingat Pulau Flores termasuk daerah rawan gempa, diperlukan kajian untuk dapat menginformasikan kepada wisatawan pada lokasi mana harus berlindung ketika berada di sekitar Danau Kelimutu.
Di sisi lain dinding-dinding danau sangat mudah longsor akibat gundulnya lahan beberapa bagian danau. Karena itu, perlu diketahui flora jenis endemis yang cocok dan tepat untuk ditanam di lahan tersebut guna merehabilitasi kawasan.
Sampai saat ini BTN Kelimutu juga belum dapat memetakan jumlah maksimal pengunjung di kawasan danau untuk mengantisipasi terjadinya longsor—terutama jika hari-hari libur— pengunjung yang membeludak.
"Ke depan, jika telah diinventarisasi mengenai jenis flora dan fauna apa saja di kawasan Danau Kelimutu, petugas kami dapat menjelaskannya dengan baik kepada wisatawan. Dan warga masyarakat sekitar pun dapat melakukan budidaya tanaman endemis yang ada," kata Untung.
Ia menambahkan, dengan begitu, budidaya tersebut dapat menjadi mata pencarian yang dapat meningkatkan pendapatan warga. Misalnya, ketika pengunjung akan mengambil tanaman di lokasi konservasi, kalau ada warga sekitar yang melakukan budidaya, maka pengunjung akan diarahkan ke sana.
Prinsip perencanaan untuk pengelolaan secara matang, penuh kehati-hatian, dan keakuratan yang diterapkan BTN Kelimutu untuk pengembangan kawasan konservasi maupun pariwisata patut didukung. Namun, sepatutnya aspek pemeliharaan obyek wisata yang merupakan aset tak ternilai itu harus tetap diperhatikan.
Sumber: Media Kompas
0 komentar:
Posting Komentar