Cerpen Alex R
Pada awalnya mudah, seperti seseorang yang berkata-kata saja. Pembicaraan biasa, ngalor-ngidul, ngelindap, terkadang tersangkut di sana-sini. Serupa dengan pembicaraan orang-orang di warung kopi. Tak ada yang rumit, paling-paling sesekali hanya mengeluarkan pendapat tak berarti. Bukan memvonis, atau juga mengeluarkan sebuah solusi. Namun lebih menekankan pada harapan-harapan yang indah, seandainya hidup tak perlu rumit atau kompleks macam begini.
Begitulah, pertemuanku dengan lelaki tua itu. Badannya tambun, beberapa uban tumbuh di kepalanya, perutnya sedikit buncit. Ia menanyakan asal-usulku, riwayat diriku. Aku menjelaskan sedikit, maklum baru kenalan, sekadarnya saja. Aku bilang aku berasal dari bagian barat kota ini, perjalanan pulang ke sana, menempuh waktu kurang lebih dua jam. Ia mengangguk, tersenyum.
Di peron stasiun, kami sedang menunggu kereta yang sama. Orang-orang hilir-mudik, aku mengantuk, telat tidur semalam. Kemudian ia menjelaskan dirinya pula, "Kalau saya berasal dari selatan kota ini. Jadi turun dari kereta langsung saja. Kebetulan rumah saya berada dekat dengan stasiun. Di Manggarai."
Aku mengiyakan.
Kami terdiam, sampai terdengar ning-nong kereta lewat. Setelah kami melongok ternyata bukan kereta yang dimaksud, hanya kereta yang terlambat datang dari arah sebaliknya. Ia kembali berkata-kata, perihal keluarganya, istrinya, dua orang anaknya yang masih kecil. Hingga ia bergumam, "hidup memang penuh dengan kemungkinan," lalu berhenti, nada bicaranya datar, seperti seorang aktor yang sedang berlatih olah vokal.
"Lalu," tanyaku menyelidik-lebih jauh.
"Ya, semuanya terdiri dari unsur kemungkinan. Seperti sebuah roda, kadang di atas kadang di bawah."
Tentu, aku juga sudah tahu, gumamku dalam hati.
"Maka tak aneh pula jika seorang penjahat dengan seketika bertobat jadi orang alim. Orang alim yang tiba-tiba jadi penjahat. Para koruptor seketika memahami kesalahan dirinya."
Aku terdiam. Mengiyakan. Meski ratusan bimbang menyelinap ke dada.
Senja menyelinap ke dada. Terasa cahaya matahari itu makin memerah. Semuanya barangkali tak pernah lengkap, tak pernah pasti. Seperti arus yang mengalir dan aku mengambang di antaranya. Aku merenangi segala tafsir yang membelah diri, mengulitiku pelan-pelan. Serupa pencarian yang tak berujung, barangkali akan menemu setitik cahaya. Mungkin tak akan lengkap.
Bukankah hidup selalu dipenuhi dengan kemungkinan-kenungkinan yang tak pernah lengkap? Tak pernah pasti. Fana. Semua terkadang hanya ilusi yang meletup sekejap, memercikkan bunga api, yang membuat kita tiba-tiba terkejut, kemudian mencoba memahaminya sebagai sebuah keadaan yang wajar.
"Serba kemungkinan. Tak ada yang aneh. Tak ada yang pelu kau takutkan. Hadapi saja. Bahkan mungkin saja matahari besok tak lagi bersinar dari Timur. Nah, kalau itu namanya, sesuai dengan kitab agama, kiamat. Mungkin pula, seorang anak ulama malah bajingan yang paling biadab. Semua bisa terjadi. Ini namanya teori kemungkinan."
Aku berdebar. Aku pikir, sudah cukup aku mendapatkan bacaan dari buku filsafat ilmu, ternyata belum.
"Teori kemungkinan?" aku bertanya.
"Iya. Sekadar contoh, para ilmuwan kita secara kepastian atau ilmu pasti bilang, jika sebuah garis yang sejajar, sampai kapan pun, di mana pun, tak akan pernah bertemu, terlebih lagi bersinggungan. Mereka akan terus bercerai berai, tak akan pernah utuh dan jadi satu."
Lalu, belum sempat aku menuntaskan tanya, lelaki tua itu berdiri, menunggu kereta yang datang melaju ke arah kami. Ternyata, kereta senja itu penuh dengan manusia. Saling bergantungan, berdesakan. Hingga aku dan dia memutuskan untuk tak jadi menaikinya. Kami mengobrol lagi. Hari sudah hampir senja, waktu bergulir begitu cepat. Menaiki setiap sudut, pembicaraan kami makin lebar. Makin tak berujung. Seperti sebuah keniscayaan yang paling dalam.
Hingga akhirnya kami harus berpisah. Aku teringat senyumannya yang beku dan dingin. Seolah-olah ingin mengejekku, seperti terus menggodaku untuk terus mencari setiap kemungkinan. Masih terngiang kata-katanya, "Kau harus mencari kitab itu. Kitab yang akan menyelamatkanmu dari dunia yang neraka ini. Kau akan merasa damai. Embun terus menerpa wajahmu. Kau seperti berendam di telaga yang lembab. Kau akan merasa bahagia. Kau harus membaca kitab itu!"
Hmm... sebuah kitab. Entah di mana. Terkadang, aku tertawa geli sendiri. Mana ada kitab yang isinya tentang kemungkinan. Mana ada sebuah tulisan yang berbau dengan kemungkinan-kemungkinan. Hanya orang gila saja yang sanggup menulisnya. Mengapa senantiasa dicarikan segala kemungkinan tentang hidup yang makin ruwet ini?
Memang segalanya penuh dengan kemungkinan. Mungkin saja, seseorang hari ini menjadi kiai, tapi esok ia menjadi preman yang senantiasa beraroma anggur. Mungkin saja ia menjadi pembunuh yang paling ganas, membunuhi siapa saja. Menguliti apa saja, bahkan bisa saja masuk ke dalam kamar kita sendiri. Mengawasi dengan belati dingin di tangan, yang siap memenggal urat leher sampai putus.
Aku jadi sering termenung. Bila memikirkan ucapannya, betapa ia telah menjeratku, dengan menyodorkan setiap kemungkinan yang membuat ngilu. Membuat redup tubuh. Tiba-tiba aku menjadi begitu apatis, segalanya bergelembung memasuki pembuluh otak.
Hari-hari berlalu. Mengoyak setiap kesadaran, membangunkan lipatan mimpi yang bisu. Aku masih bisa merasakan hangatnya matahari pagi, masih tertawa ria -- setelah perjumpaanku dengan seseorang yang misterius dan menjejali teori-teori kemungkinan yang terus membayang. Dan, anehnya aku begitu percaya pada dirinya.
Aku dengan seketika larut dalam penafsiran yang tak berujung. Kepalaku seperti mau pecah. Berpusingan. Barangkali, aku sedang menyentuh langit, hampir menggapainya, hingga aku terjaga bahwa lenganku begitu pendek, tak lagi sampai. Begitu masai.
Tentu, aku begitu saja dengan sigap mengiyakan apa kemauannya. Aku pikir, ia telah berpikiran maju. Tidak seperti orang-orang masa kini, yang hanya berpikir hari ini saja, mengabaikan masa depan. Dan, memang hidup selalu dipenuhi teka-teki. Bagai sebuah kemungkinan. Tidak pasti. Bukankah kita selalu diliputi hal yang sama setiap kali menemukan peristiwa, kemudian melakukan transfer kecil-kecilan di balik diri?
Begitulah, aku termangu. Di antara kata-katanya. Mungkin, aku perlu mencari lagi. Perlu bergerak menempuh jalan-jalan tanpa ujung itu. Dan, barangkali pula aku mesti membuka setiap silsilah yang sempat lewat, di mana aku selalu terkecoh, merakit setiap jalinan peristiwa yang tumbuh semakin besar. Endapan kabar yang terus membukit, menepikanku pada sebuah tempat, tapi tak lagi jelas.
Barangkali, ia benar -- kata-katanya selalu mengapungkan perasaanku. Aku seperti menemukan teori-teori baru yang tak pernah kutemui di dalam buku. Sungguh lihai ia menggodaku, menumpukkan penat yang seketika membatu, di setiap ujung perjalanan.
Perjalanan yang makin panjang, menggoda dengan bayang-bayang yang menyelinap ke dada. Bayangan yang terus menguntit, mengikuti aku ke mana saja. Sampai-sampai aku tak bisa sembunyi. Ingin berlari, terentas tanya yang panjang: mesti kemana lagi?
Sementara, kulihat langkah kakiku tidak lagi seperti kemarin, tidak seperti hari-hari yang lalu. Langkahku mendadak begitu letih, memandang setiap kemungkinan yang tumbuh, terus tumbuh semakin panjang.
Barangkali pula, aku mesti membuka lagi perpustakaan yang paling lengkap di dunia ini. Mencari setiap kemungkinan yang pernah luput di hadapan. Dan kutahu, kitab itu masih ada, masih tersimpan dengan rapi, tanpa ada seorang pun yang berani menyibaknya.***
Sumber: www.sriti.com
Pada awalnya mudah, seperti seseorang yang berkata-kata saja. Pembicaraan biasa, ngalor-ngidul, ngelindap, terkadang tersangkut di sana-sini. Serupa dengan pembicaraan orang-orang di warung kopi. Tak ada yang rumit, paling-paling sesekali hanya mengeluarkan pendapat tak berarti. Bukan memvonis, atau juga mengeluarkan sebuah solusi. Namun lebih menekankan pada harapan-harapan yang indah, seandainya hidup tak perlu rumit atau kompleks macam begini.
Begitulah, pertemuanku dengan lelaki tua itu. Badannya tambun, beberapa uban tumbuh di kepalanya, perutnya sedikit buncit. Ia menanyakan asal-usulku, riwayat diriku. Aku menjelaskan sedikit, maklum baru kenalan, sekadarnya saja. Aku bilang aku berasal dari bagian barat kota ini, perjalanan pulang ke sana, menempuh waktu kurang lebih dua jam. Ia mengangguk, tersenyum.
Di peron stasiun, kami sedang menunggu kereta yang sama. Orang-orang hilir-mudik, aku mengantuk, telat tidur semalam. Kemudian ia menjelaskan dirinya pula, "Kalau saya berasal dari selatan kota ini. Jadi turun dari kereta langsung saja. Kebetulan rumah saya berada dekat dengan stasiun. Di Manggarai."
Aku mengiyakan.
Kami terdiam, sampai terdengar ning-nong kereta lewat. Setelah kami melongok ternyata bukan kereta yang dimaksud, hanya kereta yang terlambat datang dari arah sebaliknya. Ia kembali berkata-kata, perihal keluarganya, istrinya, dua orang anaknya yang masih kecil. Hingga ia bergumam, "hidup memang penuh dengan kemungkinan," lalu berhenti, nada bicaranya datar, seperti seorang aktor yang sedang berlatih olah vokal.
"Lalu," tanyaku menyelidik-lebih jauh.
"Ya, semuanya terdiri dari unsur kemungkinan. Seperti sebuah roda, kadang di atas kadang di bawah."
Tentu, aku juga sudah tahu, gumamku dalam hati.
"Maka tak aneh pula jika seorang penjahat dengan seketika bertobat jadi orang alim. Orang alim yang tiba-tiba jadi penjahat. Para koruptor seketika memahami kesalahan dirinya."
Aku terdiam. Mengiyakan. Meski ratusan bimbang menyelinap ke dada.
Senja menyelinap ke dada. Terasa cahaya matahari itu makin memerah. Semuanya barangkali tak pernah lengkap, tak pernah pasti. Seperti arus yang mengalir dan aku mengambang di antaranya. Aku merenangi segala tafsir yang membelah diri, mengulitiku pelan-pelan. Serupa pencarian yang tak berujung, barangkali akan menemu setitik cahaya. Mungkin tak akan lengkap.
Bukankah hidup selalu dipenuhi dengan kemungkinan-kenungkinan yang tak pernah lengkap? Tak pernah pasti. Fana. Semua terkadang hanya ilusi yang meletup sekejap, memercikkan bunga api, yang membuat kita tiba-tiba terkejut, kemudian mencoba memahaminya sebagai sebuah keadaan yang wajar.
"Serba kemungkinan. Tak ada yang aneh. Tak ada yang pelu kau takutkan. Hadapi saja. Bahkan mungkin saja matahari besok tak lagi bersinar dari Timur. Nah, kalau itu namanya, sesuai dengan kitab agama, kiamat. Mungkin pula, seorang anak ulama malah bajingan yang paling biadab. Semua bisa terjadi. Ini namanya teori kemungkinan."
Aku berdebar. Aku pikir, sudah cukup aku mendapatkan bacaan dari buku filsafat ilmu, ternyata belum.
"Teori kemungkinan?" aku bertanya.
"Iya. Sekadar contoh, para ilmuwan kita secara kepastian atau ilmu pasti bilang, jika sebuah garis yang sejajar, sampai kapan pun, di mana pun, tak akan pernah bertemu, terlebih lagi bersinggungan. Mereka akan terus bercerai berai, tak akan pernah utuh dan jadi satu."
Lalu, belum sempat aku menuntaskan tanya, lelaki tua itu berdiri, menunggu kereta yang datang melaju ke arah kami. Ternyata, kereta senja itu penuh dengan manusia. Saling bergantungan, berdesakan. Hingga aku dan dia memutuskan untuk tak jadi menaikinya. Kami mengobrol lagi. Hari sudah hampir senja, waktu bergulir begitu cepat. Menaiki setiap sudut, pembicaraan kami makin lebar. Makin tak berujung. Seperti sebuah keniscayaan yang paling dalam.
Hingga akhirnya kami harus berpisah. Aku teringat senyumannya yang beku dan dingin. Seolah-olah ingin mengejekku, seperti terus menggodaku untuk terus mencari setiap kemungkinan. Masih terngiang kata-katanya, "Kau harus mencari kitab itu. Kitab yang akan menyelamatkanmu dari dunia yang neraka ini. Kau akan merasa damai. Embun terus menerpa wajahmu. Kau seperti berendam di telaga yang lembab. Kau akan merasa bahagia. Kau harus membaca kitab itu!"
Hmm... sebuah kitab. Entah di mana. Terkadang, aku tertawa geli sendiri. Mana ada kitab yang isinya tentang kemungkinan. Mana ada sebuah tulisan yang berbau dengan kemungkinan-kemungkinan. Hanya orang gila saja yang sanggup menulisnya. Mengapa senantiasa dicarikan segala kemungkinan tentang hidup yang makin ruwet ini?
Memang segalanya penuh dengan kemungkinan. Mungkin saja, seseorang hari ini menjadi kiai, tapi esok ia menjadi preman yang senantiasa beraroma anggur. Mungkin saja ia menjadi pembunuh yang paling ganas, membunuhi siapa saja. Menguliti apa saja, bahkan bisa saja masuk ke dalam kamar kita sendiri. Mengawasi dengan belati dingin di tangan, yang siap memenggal urat leher sampai putus.
Aku jadi sering termenung. Bila memikirkan ucapannya, betapa ia telah menjeratku, dengan menyodorkan setiap kemungkinan yang membuat ngilu. Membuat redup tubuh. Tiba-tiba aku menjadi begitu apatis, segalanya bergelembung memasuki pembuluh otak.
Hari-hari berlalu. Mengoyak setiap kesadaran, membangunkan lipatan mimpi yang bisu. Aku masih bisa merasakan hangatnya matahari pagi, masih tertawa ria -- setelah perjumpaanku dengan seseorang yang misterius dan menjejali teori-teori kemungkinan yang terus membayang. Dan, anehnya aku begitu percaya pada dirinya.
Aku dengan seketika larut dalam penafsiran yang tak berujung. Kepalaku seperti mau pecah. Berpusingan. Barangkali, aku sedang menyentuh langit, hampir menggapainya, hingga aku terjaga bahwa lenganku begitu pendek, tak lagi sampai. Begitu masai.
Tentu, aku begitu saja dengan sigap mengiyakan apa kemauannya. Aku pikir, ia telah berpikiran maju. Tidak seperti orang-orang masa kini, yang hanya berpikir hari ini saja, mengabaikan masa depan. Dan, memang hidup selalu dipenuhi teka-teki. Bagai sebuah kemungkinan. Tidak pasti. Bukankah kita selalu diliputi hal yang sama setiap kali menemukan peristiwa, kemudian melakukan transfer kecil-kecilan di balik diri?
Begitulah, aku termangu. Di antara kata-katanya. Mungkin, aku perlu mencari lagi. Perlu bergerak menempuh jalan-jalan tanpa ujung itu. Dan, barangkali pula aku mesti membuka setiap silsilah yang sempat lewat, di mana aku selalu terkecoh, merakit setiap jalinan peristiwa yang tumbuh semakin besar. Endapan kabar yang terus membukit, menepikanku pada sebuah tempat, tapi tak lagi jelas.
Barangkali, ia benar -- kata-katanya selalu mengapungkan perasaanku. Aku seperti menemukan teori-teori baru yang tak pernah kutemui di dalam buku. Sungguh lihai ia menggodaku, menumpukkan penat yang seketika membatu, di setiap ujung perjalanan.
Perjalanan yang makin panjang, menggoda dengan bayang-bayang yang menyelinap ke dada. Bayangan yang terus menguntit, mengikuti aku ke mana saja. Sampai-sampai aku tak bisa sembunyi. Ingin berlari, terentas tanya yang panjang: mesti kemana lagi?
Sementara, kulihat langkah kakiku tidak lagi seperti kemarin, tidak seperti hari-hari yang lalu. Langkahku mendadak begitu letih, memandang setiap kemungkinan yang tumbuh, terus tumbuh semakin panjang.
Barangkali pula, aku mesti membuka lagi perpustakaan yang paling lengkap di dunia ini. Mencari setiap kemungkinan yang pernah luput di hadapan. Dan kutahu, kitab itu masih ada, masih tersimpan dengan rapi, tanpa ada seorang pun yang berani menyibaknya.***
Sumber: www.sriti.com
0 komentar:
Posting Komentar