Gelgel meringkuk tak berdaya. Darah terus-menerus mengalir dari paha kiri dan betis kanannya. Seluruh wajahnya memar, bahkan nyaris bonyok. Segerombolan tentara tak berusaha menolong, malah mempermainkannya bagai seonggok sampah bau yang pantas ditinju dan ditendang. Setiap saat kawanan tentara itu mengambil kesempatan untuk menonjok wajahnya. Seorang tentara muda berbadan kurus bahkan memukul kepala Gelgel dengan popor senapan. Seketika darah segar menyembur… Gelgel hanya diam bagai sekerat daging beku.
Ini tuduhan dan siksaan kesekian yang ia terima dari para tentara. Dalam setiap sesi interogasi para tentara selalu meneriakkan pertanyaan yang sama, ”Kamu anak PKI tak tahu diri. Bapakmu yang membunuh tentara dan mencuri senjata. Di mana kamu sembunyikan?” Sebelum mulut Gelgel terbuka gagang pistol menghantamnya. Berdarah-darah sudah bukan peristiwa aneh. ”Di mana kamu sembunyikan? Ayo jawab!!” Plok-plok-plok, tiga kali pipi Gelgel ditempeleng. Itu termasuk siksaan fisik paling ringan.
Aku membaca peristiwa itu dalam sebuah catatan tulisan tangan yang dibuat Ayah pada masa-masa akhirnya di penjara. Ia berhasil menyelundupkan keluar penjara lewat seorang kerabat yang membesuk sembari mengantarkan pisang goreng kesukaan Ayah. Sayangnya dalam catatan itu sama sekali tidak dituliskan mengapa Ayah sampai dijebloskan ke dalam penjara. Seluruh kerabat sampai kini pun tak mengerti, mengapa Ayah, yang pekerjaannya sewaktu peristiwa pembantaian besar-besaran terjadi bekerja sebagai tukang pos, diciduk. Lewat Ibu aku hanya dapat sepotong penjelasan, bahwa Ayah dibawa orang-orang berseragam militer tengah malam setelah berdoa. Tiga bulan kemudian baru muncul pemberitahuan dari instansi militer, Ayah ditahan di penjara Kota.
”Untuk apa bertanya tentang kepahitan, terima saja, itu sudah 43 tahun seusia kamu sekarang…,” kata Ibu saat aku pulang kampung. Aku memang sudah lama tinggal di Jakarta bersama keluarga. Sementara Ibu hanya tinggal bersama seorang adikku di kampung, tiga adikku yang lain tinggal tersebar di beberapa kota lain.
Minggu pagi, aku iseng membuka-buka rak buku yang sudah bubukan di sana-sini, bahkan beberapa buku sudah berbau apak. Di antara lepitan rak, berhasil kutemukan album foto-foto tua keluarga kami. Ayah sekitar awal-awal tahun 1960-an masih ganteng, badannya tegap, meski rona kebotakan sudah mulai tampak di kepalanya. Mungkin karena pekerjaannya setiap hari mengayuh sepeda untuk mengantarkan surat, seluruh tubuh Ayah terlihat kuat, meski ia agak kurus. Ibu selalu berkebaya, bahkan sampai sekarang. Pernah kukirim beberapa pakaian sehari-hari untuk sekadar ganti saat-saat ia jualan di pasar. ”Kebaya saja sudah cukup. Ini luwes. Bisa untuk jualan, kundangan, atau tidur juga,” kata Ibu lewat telepon. Pakaian yang kukirim itu kemudian ia berikan kepada beberapa sepupu perempuanku.
Catatan Ayah hanya sedikit menyisakan tanda tentang dirinya, terutama ketika ia menuliskan, ”Saya alami hal yang sama di sini. Ayah Gelgel seseorang yang saya kenal, lantaran setiap pekan saya mengantarkan surat untuknya. Ia bekas orang pergerakan dulu. Penjara Kota, 10 Maret 1966.” Dari buku-buku yang kubaca, pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di kota kami dimulai pada akhir bulan November 1965. Itu berarti kira-kira empat bulan setelah dijebloskan ke penjara tanpa diadili, Ayah membuat catatan secara sembunyi-sembunyi.
Berbekal keterangan-keterangan itulah aku melacak rumah Gelgel di Desa Mertha Asri, letaknya kira-kira 30 kilometer di tenggara Kota. Meski sudah lebih dari 40 tahun peristiwa itu terjadi, nyaris tak seorang pun berani memberi petunjuk, apalagi mengantarkan aku menuju rumah Gelgel. Beruntung seorang petani yang sedang menghalau burung dari padi-padinya mau sekadar berbagi informasi.
”Sebaiknya Anda tanya Kepala Desa. Rumahnya di tikungan dekat pohon beringin itu,” katanya.
”Apa Bapak kenal Gelgel atau ayahnya?”
”Gelgel seperti sebagian besar anak di sini, semua kehilangan ayah.”
”Maksud Bapak?”
”Bukankah itu yang Anda butuhkan?” Ketika aku mengajukan beberapa pertanyaan lagi, petani tua itu hanya menunjuk ke arah pohon beringin di pinggiran desa. Setelah berpamitan, aku menyusur jalan tanah dan melewati sawah-sawah petani yang hijau. Kupikir begitu asri desa ini, sesuai dengan namanya. Saat melintasi bendungan kecil, seseorang menegurku. Ia berdiri di seberang kali kecil sembari memanggul cangkul.
”Kamu Tri, bukan?”
”Anda siapa?”
”Saya Sutama, teman sekolah dulu. Kok sampai nyasar ke desa?”
Jujur aku belum ingat sepenuhnya siapa lelaki yang kelihatan lebih tua dari usianya ini. Melihat gelagatku yang belum yakin sepenuhnya siapa dirinya, lagi-lagi lelaki itu berkata, ”Aku Sutama, teman sekelas bersama Suama, adik tiriku. Waktu SD dulu, ingat ndak? Kamu benar Tri, kan?”
”Ya, saya memang Tri, bagaimana bisa mengenali saya?”
”Luka di jidatmu bekas lima jahitan. Itu cedera saat main bola dekat pelabuhan tua itu kan?”
Bukan main orang ini, pikirku. Ia masih saja hafal ciri-ciri di jidatku.
”Musibah itu kan terjadi setelah kamu bertabrakan dengan Gelgel, kan?”
Tiba-tiba jantungku berdegup. Darah seperti mengucur deras di kepalaku.
”Gelgel? Apakah yang kamu maksud Gelgel yang di penjara itu?”
”Tentu tidak. Ah, masa lupa dengan kawan sendiri?”
Kupikir ini kesempatan yang baik untuk mengutarakan tujuanku datang ke Mertha Asri ini. ”Aku kemari memang mencari rumah Gelgel.”
”Gelgel yang mana Tri? Semua Gelgel di desaku sudah meninggal. Tepatnya tak jelas nasibnya.”
”Maksudmu?”
”Ya tak ada lagi yang bernama Gelgel.”
”Memang ada berapa orang yang bernama Gelgel?”
”Setahuku ada empat.”
”Keluarga mereka?”
”Gelgel yang kamu maksud?”
”Yang rumahnya di tikungan dekat pohon beringin,” ujarku yakin.
”Ayo ke rumahku.”
Benar seperti dugaanku, Sutama pun tak beda dengan warga desa lain. Begitu tahu keinginanku serius mengungkit soal orang bernama Gelgel yang rumahnya di dekat pohon beringin ia berusaha mengalihkan persoalan.
”Kudengar kamu tinggal di Jakarta,” ujar Sutama.
”Ya sejak lima tahun terakhir.”
”Sebelumnya di Malang kan?” Aitt, dari mana ia tahu riwayat kepindahanku di beberapa kota.
”Ya, aku tahu dari ibumu. Kami pernah bertemu di pasar desa. Sudah lama. Ah dia guru yang baik,” cepat-cepat kata Sutama. Dengan mudah ia menebak air mukaku.
Matahari mulai redup. Sinarnya yang merah berpendar di bulir-bulir padi, yang bagai emas tergantung di antara hijau daun. Di selatan Desa Mertha Asri terlihat gugusan rawa yang dipenuhi pohon buyuk, sejenis rumbia, yang menjulur sampai ke Desa Awen. Di pucuk-pucuk daun buyuk burung pipit biasanya membangun sarangnya yang bergelantungan anggun. Di bawah rerimbunan pohon terdapat kubangan-kubangan yang dipenuhi air jika sedang pasang naik. Aku pernah bersama Sutama, Suama, Wastika, Suri, Korni, Astudi, Yasa, dan beberapa kawan lain semasa sekolah dasar, menjaring udang atau mengorek kerang di kubangan-kubangan itu. Gelgel? Aku tak ingat benar, apakah Gelgel ikut dalam rombongan kami.
Desa yang damai, pikirku. Tetapi kata-kata petani tua di ujung desa sungguh-sungguh menghantuiku. Samar-samar aku ingat sewaktu sekolah dasar dahulu, jika kami sedang berolok-olok, kawan-kawan dari Desa Mertha Asri yang letaknya dipisahkan Sungai Ijo Gading dengan sekolah kami selalu diperolok sebagai anak yatim. Setelah beranjak remaja aku baru mengerti kalau Sutama, Suama, Wastika, Suri, Korni, Astudi, dan Yasa, juga Gelgel, serta semua anak seusiaku di desa itu, tidak memiliki ayah. Ayah mereka pada suatu malam pada awal tahun 1966 diculik dan dibawa pergi bersama deru suara truk militer. Tak ada yang kembali.
”Kenapa Gelgel ikut ditahan di tangsi militer,” sergahku beberapa waktu setelah kami duduk di beranda rumah Sutama.
Sutama tampak kaget. Mungkin ia heran mengapa baru belakangan ini aku getol mencari tahu seputar pembantaian besar-besaran di Bali Barat, yang justru terjadi berselang beberapa bulan setelah pembunuhan para jenderal di Jakarta.
”Apa pedulimu pada Gelgel? Sudah kubilang semua Gelgel di desaku ini sudah mati!”
”Termasuk Gelgel teman sekolah kita?”
”Ya.”
”Kenapa? Dia kan seusia kita, bukan?”
”Tidak, kamu salah. Ada cerita panjang…,” kata Sutama membuatku penasaran. Tetapi sebelum aku bertanya lagi, ia bergegas melanjutkan, ”Apa yang membuatmu datang kemari, Tri?”
”Aku menemukan catatan Ayahku soal seseorang bernama Gelgel yang disiksa habis oleh militer. Tetapi, Ayah sama sekali tidak menyinggung mengapa ia juga turut ditangkap.”
”Jadi kamu melacak mengapa ayahmu ditangkap? Masih untung ada catatan. Kami di sini kehilangan segala-galanya. Jika aku menjadi yatim karena ayahku mati lantaran digerogoti penyakit, mungkin lebih ikhlas. Tetapi, kami sampai kini terluka. Petani desa seperti ayah kami telah menjadi korban pusaran perebutan kekuasaan yang menjijikkan…”
”Maafkan aku, telah mengingatkanmu soal itu,” kataku dengan maksud mendinginkan percakapan. Namun, Sutama justru semakin mendidih.
”Kamu tahu, ayah Ketut Gelgel mungkin satu-satunya orang yang lolos….”
”Maksudmu ia berhasil kabur dan selamat.”
”Jauh dari itu. Pak Gede, ayah Ketut Gelgel, cerita tetua di sini, memang meloloskan diri saat tentara menggerebek desa kami, tetapi sampai kini tak jelas nasibnya. Justru Ketut Gelgel yang harus menanggung itu semua….”
”Tetapi dia kan seumuran kita? Masih bayi saat peristiwa itu terjadi.”
”Itulah kejahatan sejatinya,” kata Sutama bernada tegas dan geram. ”Itu pula yang membuat kami memilih jadi petani di sini.”
”Jadi Gelgel di mana sekarang?”
”Suatu pagi kami menemukan mayatnya mengambang di Ijo Gading. Lalu polisi datang dan mengatakan ia menceburkan diri saat dikejar aparat karena sudah lama menjadi target operasi. Katanya pula Gelgel residivis alias perampok bersenjata kelas kakap.”
”Gelgel yang kamu maksud?”
”Tentu saja Gelgel sahabat kita.”
”Siapa Gelgel dalam catatan ayahku?”
”Mungkin ayahnya.”
”Maksudmu?”
”Kepala desa kami, Ketut Gelgel.”
”Ayah Gelgel?”
”Ya. Namanya juga Gelgel.”
Lalu kubayangkan Ketut Gelgel dalam catatan ayah bagai seonggok daging beku terpuruk di sudut sel yang dingin. Luka menganga di sekujur tubuhnya dikerubuti lalat bangkai. Ia dipaksa mengakui sesuatu yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya. Aku tahu kemudian dari buku, pembunuhan dan pembakaran tangsi tentara dan pencurian senjata hanyalah dalih untuk menebar kebencian. Kematian Gelgel, sahabat masa kecilku, juga penuh ketidakjelasan. Ia pasti korban konspirasi orde yang ingin menghapus jejak kejahatannya sendiri. Diam-diam kubayangkan pula Ayah mengalami nasib tragis seperti orang-orang dari Desa Mertha Asri, meringkuk pasrah karena tak berdaya dan mati bagai seonggok daging busuk di dalam terali besi yang beku.***
Yogyakarta, Oktober 2008
Sumber: www.sriti.com
0 komentar:
Posting Komentar